Kategori
Web

Majelis Hakim Kasus Mutilasi : Perbuatan Terdakwa Keji, Sadis dan Melanggar HAM (dikutip dari isi Putusan Nomor Perkara 37-K/PMT.III/AD/XII/2022)

ALDP Papua – Jayapura.Majelis hakim pengadilan Militer Tinggi-III Surabaya pada perkara terdakwa Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi , satu dari 6 anggota TNI pelaku pembunuhan berencana 4 warga Nduga di Timika- 22 Agustus 2022 menyimpulkan bahwa terdakwa secara bersama-sama terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana Pembunuhan berencana (moord) sebagaimana diatur dalam dakwaan lebih subsidair yakni Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dan tindak pidana tidak melaporkan ke Atasan sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat (1) KUHPM sehingga dijatuhi vonis seumur hidup dan dipecat dari dinas militer. Vonis ini jauh lebih tinggi dari tuntutan oditur yakni 4 tahun penjara dengan menggunakan dakwaan primer Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP tentang penadahan(heling).

 Pokok-Pokok Pertimbangan Majelis Hakim :

Perbuatan terdakwa dengan sengaja menghilangkan nyawa secara bersama-sama dan tidak melaporkan kepada komandan  Brigif 20 Kostrad Timika terkait adanya laporan adanya transaksi senjata. Terdakwa  tidak menghargai/menghormat nyawa hak hidup orang lain. Terdakwa memiliki kepribadian tidak jujur, tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya dan perbuatan pelaku lain serta ada niat terdakwa untuk menutup kejadian yang dialami terbukti setelah korban dibunuh  SP1, jenazah dimutilasi lalu dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke sungai dan mobil yang digunakan korban dibakar dengan tujuan menghilangkan jejak dan Barang Bukti

Perbuatan terdakwa telah menghilangkan nyawa orang, maka selain korban kehilangan nyawa korban juga kehilangan uang 250 juta rupiah dan kehilangan 1 unit mobil warna silver.

Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat menimbulkan trauma keluarga dan masyarakat. Merusak hubungan baik antara TNI dan rakyat sehingga dapat menganggu kepentingan teritorial TNI dalam mempersiapkan potensi pertahanan negara dan dapat menurunkan citra TNI di mata masyarakat  khususnya  di TNI AD.

Bahwa majelis hakim dalam menjatuhkan pidana pada diri terdakwa semata-mata bukan sebagai balas dendam atas perbuatan yang dilakukan terdakwa juga bukan pemuas bagi keluarga korban melainkan untuk menegakan keadilan yang tergoyahkan akibat perbuatan terdakwa. Lebih dari itu bertujuan untuk menciptakan efek jera bagi individu lain dalam tata pergaulan masyarakat mencegah dilakukan tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan norma-norma di masyarakat, menyelesaikan konflik yang timbul karena tindak pidana, memberikan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Hal yang meringankan karena terdakwa pernah menjadi Satgas PAMTAS RI 2008 dan Satgas PAMTAS Malaysia 2015.  Adapun hal yang memberatkan:

  • terdakwa prajurit berpangkat Mayor dididik dan dipersiapkan oleh negara untuk berperang dan melaksanakan tugas-tugas selain perang yang dilibatkan negara pada hakekatnya untuk melindungi kelangsungan negara dan masyarakat bukan untuk membunuh rakyat meski pun dicuriga sebagai simpatisan atau anggota KKB atau OPM,
  • perbuatan terdakwa menjadi pemberitaan media massa menjadi perhatian luas di kalangan masyarakat sehingga secara langsung maupun tidak langsung perbuatan terdakwa telah menurunkan citra institusi TNI dan kesatuan Brigif 20 Kostrad Timika di mata masyarakat
  • perbuatan terdakwa bertentang dengan kepentingan militer yang senantiasa menjaga soliditas TNI dengan rakyat dalam rangka mendukung tugas pokok TNI.

Aspek keadilan masyarakat:

  • bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat , bertentangan dengan norma hukum  dan tidak mencerminkan nilai peri kemanusiaan yang beradab dan norma agama yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
  • merusak kertertiban dan keamanan masyarakat Nduga dan Timika dan Papua pada umumnya maka kondisi psikologis masyarakat Papua, Nduga dan yang lebih khusus korban harus segera dipulihkan dengan menjatuhkan hukuman yang terberat terhadap terdakwa.

Aspek sikap batin pelaku pidana :

  • perbuatan terdakwa secara bersama-sama dilakukan dengan sengaja dan sadar, setelah melakukan perbuatan terdakwa tidak menunjukkan sikap penyesalan  dan tidak pernah minta maaf kepada keluarga  Setelah korban  dibunuh di lahan kosong SP1, jenazah korban dimutilasi, dimasukkan ke dalam karung dibuang ke sungai dan mobil dibakar untuk menghilangkan jejak dan BB dan terdakwa mengentahui semua kejadian tersebut hal ini membuktikan terdakwa  tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya maupun perbuatan pelaku yang lain dengan  cara menutupi kejadian.

Aspek cara melakukan tindak pidana :

  • perbuatan sadis diluar batas kemanusiaan sehingga terdakwa harus dipidana yang setimpal sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.
  • Hal-hal lain yang menyangkut perbuatan terdakwa selain melakukan pembunuhan berencana serta mutilasi, terdakwa mendapatkan keuntungan materi uang sejumlah 22 juta rupiah dari hasil kejahatannya.

Majelis Hakim juga menegaskan dalam pertimbangannya :

Perbuatan terdakwa sangat bertentangan dengan semangat dan upaya TNI untuk meningkatkan citra dan eksistensi dalam NKRI  bahkan perbuatan keji dan sadis yang sangat bertentangan dengan HAM oleh karena itu guna memberikan efek jera kepada terdakwa dan efek cegah kepada prajurit lainnya dan masyarakat luas maka majelis hakim akan menjatuhkan pidana yang sangat berat dan setimpal dengan kadar atau tingkat kesalahan terdakwa dan akibat yang ditimbulkannya. Tuntutan dari Oditur masih terlalu ringan sehingga patut dijatuhi pidana penjara yang jauh lebih berat dari requisitoir militer.

Terdakwa berpangkat mayor seharusnya mampu berpikir secara logis, rasional dan realistis sebelum melakukan perbuatannya. terdakwa melakukan pembunuhan berencana yang bertentangan hukum yang berlaku, terdakwa bukan atasan yang mampu memberikan contoh dan panutan bagi anak buahnya dalam mentaati hukum yang berlaku.

Tugas dan jabatan sebagai WS Dandema Brigif 20 Kostrad Timika tidak ada kaitannya dengan penangkapan KKB/OPM karena di kesatuan Brigif 20 Kostrad Timika ada satuan khusus yang bertanggungjawab dengan penangkapan KKB/OPM. Jika terdakwa mendapat infomasi harusnya melaporkan kepada komandan. Terdakwa cenderung berbuat/bertindak sendiri dan mengabaikan prosedur yang berlaku di kesatuan pada akhirnya perbuatan terdakwa merugikan kepentingan dinas dan kepentingan masyarakat yang menjadi korban kejahatan terdakwa.

Sebagai prajurit yang bertugas di daerah rawan keamanan/daerah konflik terdakwa  memelihara hubungan baik dengan rakyat dan mencintai serta membela kepentingan-kepentingan rakyat karena soliditas antara TNI dengan rakyat adalah sumber kekuatan TNI dan membuat TNI menjadi kuat yang disegani oleh lawan dan kawan untuk menjaga soliditas TNI dan rakyat maka prajurit harus bersikap dan bertindak sesuai dengan pedoman TNI.

Namun perbuatan terdakwa yang dapat menganggu harmoni hubungan Papua  dengan prajurit TNI  yang bertugas di Papua akhirnya akan menurunkan tingkat kepercayaan kepada TNI.  Padahal berbagai cara persuasif berusaha dilakukan untuk meredakan konflik di Papua namun dengan kejadian di Timika dan tidak dilaporkan secara berjenjang sehingga perbuatan terdakwa merugikan kepentingan militer. Nyata-nyata sikap yang tidak layak yang ditiru. Tidak layak dipertahankan sebagai prajurit TNI.

Sidang putusan tanggal 24 Januari 2023 yang digelar di Pengadilan militer III-19 Jayapua ini dilakukan oleh Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, dengan Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani.

Adapun untuk 5 terdakwa anggota TNI yakni Kapten Inf. Dominggus Kainama(meninggal 24 des 2022, Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra, Praka Pargo Rumbouw, dan Pratu Rizky Oktaf Muliawan masih menjalani persidangan dengan majelis yang berbeda yakni dari pengadilan militer III-19 Jayapura.(Tim/AlDP).

Kategori
Web

Kelalaian Danki Brimob dan Kematian Bripda Diego Rumaropen pada Peristiwa Napua-Wamena

ALDP Papua – Wamena.Bripda Diego Rumaropen adalah polisi muda berusia 19 tahun yang baru memulai kariernya sekitar 6 bulan di POLRI dan ditempatkan di Kotis Brimob di Wamena. Pada siang hari tanggal 18 Juni 2022, dirinya diajak oleh komandannya yakni Danki AKP Rustam menemani menembak sapi di Napua, sekitar 15 menit dari kota Wamena. Pada peristiwa itu, Bripda Dieho Rumaropen meninggal dunia, tubuhnya ditemukan robek akibat bacokan, setidaknya ada 2 bacokan di kepala dan 1 dirusuk sebelah kiri. Pada peristiwa itu, 2 pucuk senjata yakni AK101 yang digunakannya dan Styer SSG08 yang digunakan Danki AKP Rustam ikut hilang.

Ada banyak hal yang masih menjadi misteri, misalnya di TKP Napua, selain AKP Rustam dan Bripda Diego Rumaropen, setidaknya ada Brigpol Rosi Marta(supir Danki AKP Rustam), Supardi, Firaun Yalak, Seplon Yando, Alexander Matuan dan Elius Yelipele. AKP Rustam sendiri telah dua kali ke lokasi tersebut setidaknya 2 hari sebelum kejadian yakni pada hari kamis tanggal 16 Juni 2022.

Menurut pengakuan Danki AKP Rustam, dirinya menembak sapi dengan menggunakan senjata StyerSSG08. Setelah menembak sapi,  AKP Rustam menyerahkan senjata yang digunakan untuk menembak yakni Styer SSG08 kepada Bripda Diego Rumaropen dan meminta Bripda Diego Rumaropen untuk mencari selongsong peluru. Kemudian AKP Rustam bersama yang lainnya memperhatikan sapi hasil tembakannya. Berselang sekitar 3 menit AKP Rustam berbalik melihat Bripda Diego Rumaropen sudah jatuh dan melihat ada orang yang berlari ke arah gunung yang letaknya terbuka dengan membawa senjata. Lokasi tersebut berada dekat Pos TNI berjarak kurang dari 1 kilometer namun saat kejadian AKP Rustam tidak langsung meminta bantuan ke Pos TNI Napua, misalnya untuk melakukan pengejaran, menurut informasi baru pada malam hari setelah kejadian, AKP Rustam bersama anak buahnya kembali ke TKP.

Tanggal 28 Juli 2022 Tim PH bertemu dengan Kabid Propam Polda Papua di Polda Papua sebelum dilakukan sidang kode etik, kabid Propam Polda Papua yakni Kombes Pol Gustav R, Urbinas, SH,S.I.K, M.pd menjelaskan bahwa kapolda Papua yakni Irjen Pol Mathius D. Fakhiri, S.I.K tetap berkomitmen sesuai dengan pertemuan kapolda dengan keluarga Bripda FDR bahwa AKP R akan dikenakan hukuman maksimal pada sidang kode etik.

Tanggal 2 Agustus 2022 telah dilakukan dilakukan sidang Komisi Kode Etik Profesi Polisi(KKEPP) di Polda Papua terhadap AKP Rustam, AKP Rustam telah terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf C dan l serta Pasal 10 Ayat (1) huruf a Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Putusan Majelis Kode Etik yakni merekomendasikan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat(PTDH) kepada AKP Rustam. AKP Rustam langsung mengajukan banding. Untuk proses banding, pihak keluarga bermohon agar kapolda Papua menolak permohonan banding yang diajukan AKP Rustam.

Atas tidak sinkronnya kronologis dan keterangan para saksi, maka ada dugaan lain yakni bahwa peristiwa tersebut ada hubungannya dengan transaksi senjata, hal mana telah disampaikan juga oleh keluarga korban pada tanggal 20 Juni 2022 melalui kabarpapua.com yang dikutip oleh sulses.suara.com[1]. Hal ini bersesuaian dengan informasi yang didapat dari pimpinan TPNPB Egianus Kogoya bahwa mereka mengambil senjata yang mereka sudah bayar sebelumnya. Terhadap informasi ini keluarga mendesak pihak Polda Papua untuk mendalami  informasi tersebut. Informasi lain yang berkembang adalah  ada upaya dari masyarakat di sekitar Napua dan distrik sekitarnya untuk melakukan ganti rugi/bayar denda terhadap pihak keluarga korban namun keluarga korban menuntut dilakukannya proses hukum. Selanjutnya keluarga didampingi oleh Tim Pengacara dari Koalisi LSM di Papua.

Bahwa pada tanggal 10 Agustus 2022 keluarga menerima SP2HP tertanggal 8 Agustus 2022 berdasarkan laporan yang disampaikan oleh AKp Rustam, yakni Laporan Polisi :LP/B/242/VI/2022/SPKT/Polres Jayawijaya/Polda Papua dengan menerangkan bahwa ada 2 orang pelaku yang diduga melakukan pembunuhan dan perampasan senjata dan berstatus DPO.

 

Namun keluarga Bripda Diego Rumaropen masih belum dapat menerima kematian Diego Rumaropen terutama mengenai kronologis peristiwa dan siapa sebenarnya yang menghabisi nyawa Bripda Diego Rumaropen.

Bahwa menindaklanjuti rekomendasi putusan dari sidang KKEPP, selanjutnya setidaknya ada 2 peristiwa pidana yakni : menghilangkan nyawa orang lain dan hilangnya senjata api. Hilangnya senjata api dapat dikenakan UU Darurat Nomor 12 tahun 1951.

Adapun terkait dengan hilangnya nyawa Bripda Diego Rumaropen, hingga saat ini tidak ada satupun saksi yang berada di TKP yang sangat terbuka tempatnya, memberikan keterangan telah melihat pelaku pembunuhan oleh sebab itu sepanjang belum ditemukan pelakunya maka siapapun yang berada di sekitar bripda Dieogo Rumaropen saat peristiwa haruslah dimintai pertanggungjawaban hukum secara khusus yakni Danki AKP Rustam karena kehadiran bripda Diego Rumaropen di tempat tersebut bukan atas kehendak dirinya akan tetapi karena menurut perintah atasan yakni AKP Rustam yang mana perintah terebut adalah perintah yang salah/melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) huruf C dan l serta Pasal 10 Ayat (1) huruf a Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Setidaknya AKP Rustam dapat dipersangkakan telah melakukan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa Bripda Diego Rumaropen sebagaimana Pasal 359 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Terkait pasal kelalaian yang menyebabkan kematian dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi sebagaimana di atas, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, menjelaskan bahwa mati orang di sini tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa).Yang dimaksud dengan “karena kesalahannya” adalah kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.

Bahwa pada tanggal 10 Agustus 2022 ibu dari Diego Rumaropen yakni Susana Elisabeth Merani telah membuat Laporan Polisi : LP/B/315/VIII/2022/SPKT/POLRES Jayawijaya/POLDA PAPUA tanggal 10 Agustus 2022 terkait peristiwa hilangnya nyawa Bripda Diego Rumaropen di Polres Jayawijaya di Wamena akibat kelalaian dari Danki AKP Rustam. Setelah penyelidikan yang dilakukan oleh Polres Jayawijaya, kemudian keluarga mendapatkan SP2HPL yakni Surat Pemberitahuan perkembangan hasil Penelitian Laporan Nomor:B/493/IX/2022/Reskrim Polres Jayawijaya tanggal 13 September 2022 yang menerangkan bahwa perkara dilimpahkan untuk dilanjutkan penyelidannya oleh Dit Reskrimum Polda Papua(Subdit Kamneg). Pihak keluarga juga mendapatkan informasi masih perkara msih ditahap penyelidikan karena ketika memeriksa 2 ahli, masih ada perbedaan dimana 1 ahli (dari Papua) mengatakan masuk kategori pidana sedangkan 1 ahli lainnya(dari Makasar) mengatakan bukan peristiwa pidana.

Selanjutnya tanggal 26 September 2022,Pihak keluarga kembali menerima SP2HPLdari Kasubdit I Kamneg Dit Reskrimun Polda Papua yang intinya menerangkan telah dilakukan gelar perkara dan akan dilakukan penyelidikan lanjutan dalam waktu 60 hari dan jika diperlukan waktu perpanjangan akan diberitahukan lebih lanjut.

Sejalan dengan itu, keluarga telah juga menyurat ke Kapolri yang intinya  memohon agar pihak Kepolisian Republik Indonesia melalui Polda Papua dan Polres jayawijaya mengusut tuntas peristiwa kematian Bripda Diego Rumaropen setidaknya memberikan hukuman kepada AKP Rustam secara pidana karena kelalaiannya(Pasal 359 KUHP) telah menyebabkan hilangnya nyawa  Bripda Diego Rumaropen juga memohon agar pihak kepolisian Republik Indonesia melalui  Polda Papua dan Polres Jayawijaya untuk mengusut tuntas dugaan transaksi senjata api pada kasus tersebut. Keluarga berharap  memperoleh keadilan atas peristiwa yang merengut nyawa Diego Rumaropen. Agar institusi bersikap tegas, tidak melindungi aparat yang melakukan kesalahan demi nama baik dan marwah institusi dimata pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya.(Tim/AlDP)

 

[1]https://sulsel.suara.com/read/2022/06/20/075943/keluarga-temukan-hal-aneh-dalam-kematian-bripda-diego-rumaropen-minta-danki-brimob-yon-d-wamena-dihadirkan?utm_source=babe

 

Kategori
Web

Para Terdakwa Pengibar Bendera 1 Desember 2021 di GOR Jayapura, Bebas

ALDP Papua – Jayapura.Salah satu kasus makar di tahun 2021 yang disidangkan oleh PN Jayapura adalah  7 aktifis mahasiswa yakni  Terdakwa I Melvin Yobe Alias Malvin, terdakwa II Maksimus Simon Petrus You alias Maksi, terdakwa III Luis Kitok Uropmabin alias Bukal Amate, terdakwa IV Devio Tekege alias Delvi alias Marten Pakage, terdakwa V Yosep Ernesto Matuan alias Neko, terdakwa VI Ambros Fransiskus Elopere alias Frans, dan terdakwa VII Melvin Fernando Waine alias Nando. Adapun Zode Hilapok salah satu dari mereka masih dalam status dibantar karena sakit sehingga tidak dimasukan dalam persidangan yang sedang berjalan. Mereka dituduh makar pada peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 2021 di depan GOR Jayapura tepat bersebelahan dengan markas Polda Papua.

Persidangan dengan nomor perkara: 132/PID.B/2022/PN-JAP mulai dilakukan pada 4 Maret 2022 dengan pembacaan Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) mereka didakwa dalam Kesatu : Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 110 Ayat (1) KUHP. Awalnya  sidang dilakukan secara online di PN Jayapura namun pada saat pemeriksaan saksi sidang dilakukan di Lapas Abepura.  Mereka didampingi oleh Tim Penasehat Hukum yang tergabung dalam Koalisi Penegakan Hukum dan HAM di tanah Papua.

Adapun saksi-saksi berasal dari JPU yakni Didik Hermawan, Endriko Ary Setiawan, Barnabas Ferdinand Simbiak, Muhammad Jusni Alfian dan  Julian Prasetya Rachman kesemuanya merupakan anggota POLRI. Inti keterangannya adalah saat para terdakwa melakukan long march membawa bendera dan spanduk sambil berteriak Papua Merdeka, teriak seperti ini sering terdengar di saat aksi-aksi massa. Bahwa para saksi mengatakan melihat bendera dalam bentuk di gambar. Bahwa dengan adanya pengibaran bendera tersebut tidak serta merta membuat Papua merdeka. Bahwa para terdakwa ditangkap di depan Polda, salah satu diantara mereka menggunakan kostum adat.

Pada pemeriksaan para terdakwa, terdapat keterangan sebagai berikut yakni Bahwa Para Terdakwa melakukan aksi pada tanggal 01 Desember 2021 di GOR Jayapura dengan membawa bendera bintang kejora dan spanduk aksi kemudian melakukan long march dari GOR Jayapura menuju Gedung DPRP namun di depan Markas Polda Papua mereka ditangkap.  Para terdakwa menerangkan bahwa long march dilakukan di pinggir tanpa mengganggu aktifitas umum. Aksi itu bagian dari ekspresi politik sesuai UU Otsus dan sebagai protes akibat tidak dilakukan klarifikasi sejarah integrasi Papua di NKRI yang terus menuai polemik. Para Terdakwa tidak melakukan perlawanan pada saat diamankan oleh aparat kepolisian di Polda Papua.

Pada 29 Juli 2022 seorang petugas diduga dalam keadaan pengaruh minuman beralkohol masuk ke sel yang ditempati Maksimus You dan Devion Tekege dan memukul Maksmus You atas tuduhan mengisap ganja, sehingga mengakibatkan bagian pelipis mata kanan Maksimus You bengkak dan bibir luka. Tuduhan itu dibantah oleh Maksimus You. Atas kejadian tersebut, kalapas Abepura Sulistyo Wibowo mengatakan akan menindak tegas aparatnya jika terbukti melakukan kesalahan.

Pada Jumat tanggal 11 Agustus 2022 JPU telah membaca Tuntutan Pidana yakni dalam dakwaan subsidair yakni melanggar  Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 1 (Satu) Tahun dengan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan. Adapun barang bukti yang diajukan oleh JPU yakni 2 buah bendera bintang kejora dalam bentuk gambar dan 1 buah spanduk dalam bentuk gambar.

Pada Nota pembelaan para terdakwa yang disusun oleh Tim pengacara, menerangkan  bahwa pelurusan sejarah Papua telah menjadi perdebatan tiada berujung hingga saat ini dan menjadi salah satu alasan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di GOR Cederawasih Jayapura Pada Tanggal 1 Desember 2021. Salah satu tuntutan agar pemerintah menyelesaikan persoalan mengenai sejarah Papua saat berintegrasi ke dalam NKRI. Selain mengibarkan bendera, mereka membawa spanduk yang isinya agar menghentikan militerisme di tanah Papua dan mendesak agar Dewan HAM PBB diijinkan ke tanah Papua.

Selanjutnya disebutkan bahwa salah satu bagian penting di dalam UU Otsus adalah pasal 2 mengenai Lambang-Lambang, dimana rakyat Papua diperbolehkan untuk memiliki bendera daerah dan lagu daerah. Ketakutan pemerintah atas apa yang telah dijanjikan dan diperintahkan oleh UU menyebabkan pemerintah kehilangan akal sehat, tidak peduli terdapat kekeliruan asas dan hirarki dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam implementasinya, seperti ketika Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 77 tahun 2009 tentang Lambang Daerah untuk menghalau simbol atau bendera Bintang Kejora berkibar.

Pemerintah juga mengeluarkan UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu kebangsaan yang memuat sanksi terhadap berbagai tindakan pelanggaran terhadap bendera merah putih. Ironisnya, dalam prakteknya dugaan pelanggaran terhadap simbol dan ikon-ikon negara Indonesia malah menggunakan pasal makar. Padahal di Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara tidak ada satu pasal pun memuat pelanggaran atau tindak pidana terkait simbol atau bendera. Kondisi ini menunjukkan stigma terhadap orang Papua mendahului kebijakan atau hukum apapun yang hendak dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat Papua.

Tim Penasehat Hukum dengan tegas menyatakan para terdakwa  tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana makar sebagaimana dalam Kesatu : Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 110 Ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Pada tanggal 29 Agustus 2022 Majelis kemudian memutus 7 Tapol dihukum 10 bulan penjara atau lebih rendah 2 bulan dari Tuntutan JPU. Ke tujuhnya menjalani pembebasan pada 27 September 2022. Mereka dijemput oleh Tim PH, salah satu diantara mereka kembali menggunakan kostum adat,  kemudian melakukan long march dari Lapas Abepura ke asrama Taboria Padang Bulan, tempat dimana mereka melakukan syukuran atas pembebasan tersebut.(Tim/ALDP).

Kategori
Web

Peradilan Koneksitas Untuk Kasus Mutilasi Disertai Penembakan di Timika

ALDP Papua – Jayapura. Peristiwa tanggal 22 Agustus 2022 di Timika telah menyebabkan hilangnya 4 manusia karena dimutilasi, bahkan 2 diantaranya juga ditembak. Peristiwa ini melibatkan para pelaku yang terdiri dari setidaknya 6 orang anggota TNI dan 4 warga sipil, seharusnya diselesaikan melalui peradilan koneksitas.

Peradilan koneksitas diterapkan apabila pada tindak pidana yang terjadi terdapat penyertaan dalam kualifikasi turut serta (deelneming) atau secara bersama-sama (made dader) yang melibatkan pelaku berasal dari warga sipil dan berstatus sebagai anggota TNI/militer.  Penanganan perkara tindak pidana koneksitas dapat dilihat dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan KUHAP.

Sangat jelas dan tegas, pasal-pasal dalam kedua aturan tersebut memiliki perintah yang sama, seperti : Pasal 89 Ayat(1) KUHAP  dan Pasal 198 Ayat(1) UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan : Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Artinya, sepanjang tidak ada Keputusan bersama maka sudah seharusnya disidang di Peradilan umum, tidak ada kompromi atau negosiasi soal ini.  Demikian yang seharusnya dilakukan terhadap para pelaku kasus mutilasi dan penembakan terhadap 4 warga sipil pada peristiwa 22 Agustus 2022 di Timika.

Setelah dilakukan penyidikan maka dilakukan penelitan bersama terhadap hasil penyidikan tersebut.  Penelitian bersama ini dilakukan oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur untuk menentukan peradilannya(Pasal 199 UU Nomor 31 Tahun 1997). Lebih lanjut Pasal 200 UU Nomor 31 tahun 1997 menyebutkan, apabila hasil penelitian menunjukan titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka Perwira Penyerah Perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui Oditur kepada Penuntut Umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada Pengandilan Negeri yang berwenang.

Mengingat bahwa peristiwa 22 Agustus 2022 kerugian yang dialami terletak pada kepentingan umum. Pertama, keluarga korban merupakan masyarakat sipil yang mengalami kerugiaan dan penderitaan karena para korban merupakan kepala keluarga dan pencari nafkah utama keluarga serta tokoh di masyarakat. Korban dan komunitasnya bahkan distigma dan dikriminalisasi, sehingga sumber mata pencarian dan kehidupan mereka dirusak secara permanen.

Faktor lainnya yang mendesak dilakukannya sidang koneksitas di PN Kota Timika karena sudah sejak lama masyarakat tidak percaya terhadap proses hukum yang dilakukan, secara khusus terhadap pelaku yang berasal dari jajaran militer apalagi dilakukan diluar Papua. Persidangan yang dilakukan cenderung menjadi mekanisme formal(upaya penyelematan) untuk melindungi pelaku dari kejahatan yang sesungguhnya, bukan untuk menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan. Padahal melindungi aparat yang bersalah sama dengan merusak citra institusi dan memperburuk relasi dengan masyarakat. Relasi masih ada tapi sifatnya semu dan lemah.

Maka untuk membangun kepercayaan kepada institusi militer secara khusus dan untuk membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, terhadap para pelaku seharusnya disidangkan melalui peradilan koneksitas di kota kejadian yakni di PN Kota Timika.