Kategori
SOSOK

Anum Siregar ; Peraih Penghargaan HAM Internasional Tak Disokong Pemerintah

Jakarta – Aktivis lembaga swadaya masyarakat Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Latifah Anum Siregar, yang merupakan penerima Gwangju Award 2015 menyatakan belum mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk upaya penegakan HAM di Papua.

Setelah mendapatkan penghargaan bergengsi ini, Anum mengaku belum juga menerima tawaran dukungan riil dari pemerintah. Ia menilai pemerintah selama ini belum serius merespons pelanggaran HAM yang marak terjadi di provinsi paling timur di Indonesia tersebut.

“Warga Papua selalu mau diajak berdialog. Kami juga menjadi salah satu tim jaringan damai untuk negosiasi antara pemerintah dengan warga Papua. Namun sampai kini usaha pemerintah untuk penegakan HAM di Papua belum serius,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/12).

Anum meminta pemerintah mengubah pola pendekatan kepada warga Papua, yaitu tidak lagi dipandang sebagai objek.

“Pemerintah tidak pernah mengajak warga Papua untuk berkomunikasi saat menyusun kebijakan soal Papua. Padahal seharusnya mereka juga diajak menyusun kebijakan tersebut,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan dari Segala Bentuk Penghilangan Paksa.

Pasalnya, ratifikasi atas konvensi tersebut sudah masuk prioritas saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, namun mandek hingga kini. Poengky menilai ratifikasi atas konvensi itu penting sebagai bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk mencegah penghilangan paksa di kemudian hari.

“Setelah Reformasi, penghilangan orang secara paksa memang berkurang dibanding era Soeharto, namun bukan berarti sekarang sudah tidak terjadi lagi kasus seperti itu. Sampai sekarang, masih banyak terjadi, terutama di Papua,” katanya.

Anum merupakan aktivis di bidang advokasi yang vokal memperjuangkan keadilan di Papua. Ia meraih penghargaan The Gwangju Human Rigths Award 2015 asal Korea Selatan. Penghargaan diberikan pada 18 Mei lalu.

Penghargaan ini juga pernah diberikan kepada pejuang HAM dan presiden pertama Timor Leste Xanana Gusmau pada 2000 dan pejuang demokrasi dan kebebasan berbicara dan pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi pada 2004. (sur/sur)

Baca artikel CNN Indonesia “Peraih Penghargaan HAM Internasional Tak Disokong Pemerintah” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151215212842-20-98487/peraih-penghargaan-ham-internasional-tak-disokong-pemerintah.

Kategori
SOSOK Web

‘Muridan’ di Mata Masyarakat Papua

Jaringan Damai Papua (JDP/Papua Peace Network) menyelenggarakan diskusi publik memperingati 40 hari meninggalnya Dr Muridan Satrio Widjojo, tokoh yang sangat berjasa bagi perjuangan pembebasan orang asli Papua dari berbagai perlakuan diskriminasi. Diskusi diadakan di Aula Sekolah Teologi Fajar Timur Abepura Jayapura Provinsi Papua, Kamis (24/4).

Berdasarkan surat elektronik yang diterima SP, dan hasil konfirmasi dengan Koordinator JPD Dr Neles Tebay.

Dikatakan, salah satu karya monomental Muridan dan teman-temannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah buku berjudul “Papua Road Map ” yang mengungkap berbagai masalah di Tanah Papua.

Diungkapkan dalam buku tersebut bahwa sumber-sumber konflik Papua dikelompokan dalam empat isu.

Pertama, masalah marginalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970. Untuk menjawab masalah ini, kebijakan alternatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.

Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perekonomian rakyat. Untuk itu, diperlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung.

Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh.

Keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua. Untuk itu, jalan rekonsiliasi di antara pengadilan hak asasi manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan-pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua terutama korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara utuh.

Keempat isu dan agenda tersebut, dirancang sebagai strategi kebijakan yang sangat terkait untuk penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dalam jangka panjang.

Selain itu, JDP akan melaksanakan evaluasi dan menyusun program kerja yang berlangsung dari 25-26 April mendatang di Jayapura.

Diskusi publik tersebut menampilkan empat panelis, Adriana Elisabeth dan Cahyo Pamungkas dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Riele Rusdiarty (istri almarhum Muridan S Widjojo), dan Anum Siregar dari ALDP.

Diskusi publik tersebut menampilkan empat panelis, Adriana Elisabeth dan Cahyo Pamungkas dari LIPI, Riele Rusdiarty (istri almarhum Muridan S Widjojo), dan Anum Siregar dari Forum Kajian Perjuangan dan Pembebasan Orang Papua (ALDP).

Kategori
SOSOK

Pastor Yohanes Jonga “Saya Berjuang dan Mati untuk Mereka”

Mengabdi tidak hanya untuk Tuhan, Dia yakin Gereja bukan hanya batu dan kayu

Sore itu seperti biasa Pastor Yohanes Jonga membersihkan rak buku. Sejumlah laporan penting, termasuk arsip perjalanannya ke wilayah pedalaman Papua, diatur rapi. Tangannya cekatan memilah buku yang akan disimpan dan yang akan dibaca.

Beberapa menit berlalu. Diraihnya telepon genggam, menjawab panggilan. Penelepon di seberang, Andreas Harsono, periset Human Rights Wacth menanyakan kabar. “Saya masih melakukan pendampingan korban HAM,” kata Pastor Jhon.

Pria kelahiran Nunur, Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 November 1958, ini dikenal sebagai pencinta rakyat kecil. Pastor Jhon adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Kedua orang tuanya, Arnoldus Lete dan Yuliana Malon, sudah tiada.

Jhon kecil menyelesaikan sekolah dasar di Waekekik, Manggarai Timur, tahun 1975. Di tahun yang sama, Jhon masuk SMPK Rosamistika Waerana. Antara tahun 1979 hingga 1981 dia melanjutkan sekolah menengah atas di Ende, Nusa Tenggara Timur.

Dia kemudian melanjutkan sekolah ke Seminari Menengah St Dominggo Hokeng, Flores Timur, dari 1981 sampai 1982. Pertengahan 1982 dia mendaftar di Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret, Maumere, namun tak lama kemudian dikeluarkan karena sering sakit. Jhon lalu melanjutkan sekolah gereja di Akademi Pendidikan Kateketik St Paulus, Ruteng, Manggarai, tahun 1983 hingga lulus tahun 1986.

Sejarah hidupnya dimulai 1 Juli 1986 ketika ditugaskan di Paroki St Stefanus Kimbim, Lembah Baliem, Wamena. “Saya tertarik bidang HAM mulai dari Wamena. Waktu itu saat gejolak, banyak orang dibunuh dan dibuang,” tuturnya.

John menemukan demikian banyak tindakan kekerasan oleh TNI dan polisi di daerah tersebut. “Ini sangat berpengaruh, sehingga saya sangat reaktif,” ujarnya.

Sekembali dari Wamena tahun 1990, Jhon melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologia (STFT), Fajar Timur Abepura. Di tahun yang sama, menjadi relawan lembaga bantuan bukum untuk kasus bisnis militer di wilayah Arso dan melayani umat di Koya. “Saya melihat tentara begitu banyak terlibat dalam bisnis.”

Menurut dia, personel militer di wilayah ini memiliki karakter keras. Mereka mudah mengintimidasi warga dan tidak segan menganiaya. Bahkan militer secara sewenang-wenang merampas landasan pesawat terbang milik gereja untuk dijadikan pos penjagaan. “Warga Waris sampai saat ini, jika militer minta tanah, mereka akan berikan,” ujar Pastor Jhon. “Militer jadi pemicu konflik masalah tanah.”

Setelah tamat sekolah teologi, Jhon ditugaskan di Kokonau (kini Keuskupan Timika). Di sana dia bertemu Mama Yosepha dan Tom Beanal, yang sedang berjuang menentang kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia. Tiga serangkai ini kemudian membentuk Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (Yahamak).

Yahamak mulanya berbentuk kelompok Ibu Peduli HAM. Mereka mengemban misi memberikan informasi hak asasi manusia kepada mitra jaringan. Kini Yahamak bergerak di bidang pendampingan untuk berbagai suku di Timika. “Di Timika tingkat konflik sangat tinggi,” kata Pastor Jhon.

Di wilayah kekuasaan PT Freeport ini Pastor Jhon pernah ditangkap polisi karena membawa baju bergambar lambang Partai Demokrasi Indonesia. Dia menjalani diinterogasi panjang dan akhirnya dibebaskan.

Dalam perjuangannya, Pastor Jhon sempat dicap sebagai “Pastor OPM”. Pastor Jhon dinilai mendukung perjuangan Organisasi Papua Merdeka karena peduli terhadap perjuangan orang tertindas.

Pada tahun 2007 Pastor Jhon melaporkan praktik kekerasan dan intimidasi militer terhadap warga di Papua kepada Gubernur Barnabas Suebu. Aduannya ini mengusik militer dan dia diancam dikubur hidup-hidup.

Namun Pastor Jhon tidak gentar. Dia percaya Tuhan menyertai setiap langkahnya. “Tiap orang pasti mati. Hanya waktu dan caranya yang berbeda. Jangan pernah takut terhadap militer,” ujarnya.

 

Pastor Jhon memandang masalah di Papua muncul karena ketidakadilan. Konflik ini dapat reda jika terjadi dialog antara warga Papua dan pemerintah pusat di Jakarta. Dialog penting untuk menjawab kebuntuan selama ini. Dalam dialog, masalah pelanggaran HAM di Papua harus dibicarakan. Pelaksanaannya harus murni dan tidak dicemari kepentingan politik. “Dialog memungkinkan orang Papua puas dan tidak lagi menentang.”

Ketika mengetahui akan mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009, Pastor Johanes Jonga justru khawatir. Dia khawatir penghargaan ini mencemari ketulusan perjuangannya.

“Penghargaan ini bukan untuk saya, tapi untuk semua korban pelanggaran HAM. Saya hanya berjuang dan akan mati untuk mereka,” kata Pastor Jhon. “Saya tetap masih takut. Saya takut pekerjaan saya sia-sia.”

(Jerry Omona)