Categories
SIARAN PERS

Siaran Pers – Pilkada Damai adalah Pilkada yang Berkualitas & Berintegritas

Siaran Pers

Pilkada Damai adalah Pilkada yang Berkualitas & Berintegritas

 

Pada tanggal 27 November 2024 akan dilakukan pilkada serentak di Indonesia termasuk di tanah Papua. Sebelumnya telah dilakukan Pemilihan presiden(Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) pada 14 Pebruari 2024. Sebagai satu-satunya Lembaga pemantau independen terakreditasi di tanah Papua yang telah memantau selama 3 kali periode  pilpres, pileg dan pemilihan kepala daerah(pilkada), kami menyampaikan rangkuman hasil pemantauan pada pilpres dan pileg tahun 2024 serta memberikan catatan khusus mengenai penyelenggaraan Pilkada  tahun 2024 yang akan digelar pada 27 November 2024.

I. TEMUAN SAAT PILPRES & PILEG:

    A. Pemungutan Suara

  1. Pemungutan suara yang dilakukan lebih lambat (tertunda) dari waktu yang ditetapkan, disebabkan: logistik belum tersedia atau belum lengkap, saksi peserta pemilu ataupun pemilih yang belum hadir sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
  2. Jarak antara satu TPS dengan TPS yang lain sangat berdekatan atau berada pada tempat yang tidak luas atau berhimpitan dengan toko/ruko menyebabkan pelaksaan pungut hitung tidak dapat dilakukan dengan lancar dan tepat waktu.
  3. Pelaksana di TPS yakni KPPS belum mengerti mekanisme penggunaan logistik atau mengisi Sirekap.
  4. Tidak semua logistik disediakan atau digunakan, misalnya tinta untuk mencelup jari tangan setelah melakukan pencoblosan
  5. Tidak semua TPS menempel DPT di tempat terbuka untuk dapat dilhat atau dicek oleh pemilih.
  6. Surat Suara yang tertukar diantara distrik.
  7. Masih ada jual beli Undangan di tingkat kampung/desa/kelurahan oleh peserta Pemilu untuk digunakan oleh massa dari satu TPS ke TPS lainnya (mobilisasi dan mencoblos lebih dari satu kali).
  8. Data yang tidak sinkron: ada pemilih yang namanya tidak tercantum pada DPT tetapi mendapat undangan atau pun sebaliknya.
  9. Tidak tersedianya fasilitas khusus bagi pemilih disabilitas.
  10. KPPS membagi surat suara sisa kepada saksi untuk dicoblos sesuai dengan pilihan saksi dan KPPS.
  11. Ada yang melakukan pengambilan gambar saat pencoblosan atau menempel gambar caleg disekitar TPS.
  12. KPPS ataupun Panwas belum mengetahui adanya pemantau independen.
  13. Ada kelompok pemilih yang tidak dapat menyalurkan hak pilihnya karena berada keterbasan akses seperti yang dialami oleh pengungsi Nduga di Wamena dan Maybrat di Sorong.
  14. Praktik sistem noken pada TPS (wilayah) yang tidak dibolehkan mengunakan sistem noken.

 

B. Penghitungan

  1. Penghitungan Surat Suara tidak transparan di depan saksi, pemilih dan masyarakat atau berlangsung di tempat yang berbeda dari  lokasi pemungutan suara (TPS).
  2. Setelah penghitungan Surat Suara tidak langsung dibuatkan Berita Acara yang di tandatangani saksi.
  3. Penghitungan yang cenderung dibuat berlarut-larut oleh KPPS dan penyelenggara di tingkat distrik. Termasuk pencarian terhadap penyelenggara di ruang publik seperti pasar, untuk dapat segera menghadiri dan melaksanakan pleno tingkat distrik.
  4. KPPS melarikan diri karena diduga telah terikat kesepakatan dengan peserta pemilu tertentu namun tidak dapat memenuhi kesepakatan tersebut.
  5. Otoritas pemerintahan (kampung/desa)/lurah yang mengendalikan penghitungan Surat Suara.
  6. Peserta pemilu dan masyarakat tertentu membawa lari kotak suara.
  7. Adanya hasil penghitungan suara yang berbeda di antara penyelenggara yakni KPU dan Bawaslu dan juga dengan saksi/peserta pemilu.
  8. Saksi tidak menggunakan formulir pengaduan atau kejadian khusus yang menjadi dasar untuk mengajukan keberatan pada saat dilakukan rekapitulasi Suara.

 

C. Tantangan Pilkada 2024

    1. Pelanggaran Pemilu terjadi berulang dan meningkat (makin sophisticated).
    2. Keterbatasan kapasitas & integritas penyelenggara.
    3. Menguatnya politik identitas dengan menggunakan institusi atau kelompok tertentu ataupun individu.
    4. Media sosial cenderung digunakan untuk sentimen SARA dan provokasi lainnya sementara ruang klarifikasi terkait berbagai informasi hampir tidak tersedia.
    5. Indikasi keterlibatan ASN dan aparat keamanan masih kuat.
    6. Data dan administrasi yang bermasalah (DPT, KTP dan Undangan).
    7. Pemilih kelompok rentan belum diberikan perhatian serius seperti disabilitas dan pengungsi.
    8. Koordinasi yang relatif lemah dan terbatas diantara penyelenggara.
    9. Money politic.
    10. Praktik sistem noken yang dimanipulasi.
    11. Partai politik masih sangat transaksional.
    12. Dinamika politik yang sangat kuat diantara peserta pemilu/pilkada.
    13. Masyarakat sipil cenderung masih mudah dimobilisasi.
    14. Sikap apatis maupun rendahnya kepercayaan oleh masyarakat terhadap pemilu yang berkualitas & berintegritas.
    15. Kondisi geografis, transportasi dan komunikasi yang terbatas.

 

II. Dinamika Pilkada Tahun 2024

    1. Tuntutan untuk peserta pada pemillihan gubernur dan wakil gubernur, Bupati, wakil bupati dan walikota serta wakil walikota harus Orang Asli Papua (OAP) datang dari berbagai pihak termasuk Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai salah satu upaya proteksi OAP. Di tahun ini, MRP telah bertemu dengan KPU RI dan DPR RI untuk mengakomodasi tuntutan tersebut. MRP periode sebelumnya telah juga meyampaikan asirasi yang sama ketika pilkada tahun 2020. MRP sendiri diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 Ayat (1) a UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021: memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah”. MRP kemudian melakukan verifikasi dan memutuskan bakal calon yang merupakan OAP. Defenisi OAP sendiri masih terus menjadi perdebatan utama dari pilkada ke pilkada termasuk mengenai defenisi ‘diterima dan diakui’ sebagai OAP, seperti: Lembaga mana yang seharusnya mengeluarkan rekomendasi diterima dan diakui, bagaimana mekanismenya atau pada tingkatan apa (suku atau sub suku), kapan tepatnya dilakukan. Serta alasan yang kuat berdasar rekam jejak seseorang yang telah berkontribusi kepada suku/sub suku tertentu dan bukan semata karena alasan politis.
    2. Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-IX/2011 maka rekomendasi dari Lembaga adat yang mengakui seseorang sebagai OAP atau anak adat ternyata menjadi ‘alasan hukum’ yang tidak dapat dianulir oleh MRP meskipun MRP mengeluarkan putusan yang berbeda. Kondisi ini melemahkan peran MRP karena ternyata Lembaga adat lebih memiliki otoritas untuk menentukan seseorang itu OAP atau bukan OAP (dalam konteks Pilkada). Atau dengan kata lain, MRP sebagai Lembaga kultural tidak berwenang memutuskan defenisi etnis seseorang sepanjang orang tersebut mendapatkan pengakuan dari Lembaga adat, sebagaimana aturan KPU. Bahkan pada pilkada kali ini justru pasangan calon lebih beragam antara OAP dan non-OAP. Bahkan membuka peluang lebih besar kepada non-OAP di tingkat kabupaten/kota, setidaknya pada kota/kabupaten di ibukota provinsi justru ada paslon yang keduanya non-OAP seperti di Kota Jayapura dan Kabupaten Merauke.
    3. Perdebatan mengenai OAP pada pilgub kali ini lebih banyak daripada pilgub-pilgub sebelumnya. Dinamika yang paling tinggi terjadi di Provinsi Papua Barat Daya. Yakni ketika MRP menyatakan salah satu pasangan calon bukan OAP melalui Keputusan MRP Papua Barat Daya dengan nomor 10/MRP/PBD/2024 maka Kuasa Hukum salah satu paslon yakni Abdul Faris Umlati(AFU) dan Petrus Kasihiuw yang disingkat ARUS, telah mendaftar gugatan ke PTUN untuk membatalkan SK MRP Papua Barat serta melaporkan MRP Papua Barat Daya ke Polda Papua Barat.[1] Adapun KPU berpedoman pada Putusan MK Nomor 29/PUU-IX/2011 yang kemudian diperkuat dengan Surat KPU RI yang intinya menyatakan: bahwa sepanjang seorang calon mendapatkan rekomendasai dari Lembaga adat mengenai defenisi Calon sebagai OAP, maka KPU mengabaikan Putusan MRP mengenai defenisi OAP bagi paslon. Aksi menolak AFU terus berlangsung hingga menelan 1 orang korban jiwa yang meninggal dunia yakni Paulus Salosa (21/9/2024). Terhadap Putusan KPU Papua Barat Daya, MRP Papua Barat Daya melalui Kuasa Hukumnya mengatakan bahwa Gugatan ARUS ke PTUN, tidak berdasar dan beralasan hukum[2] dan MRP Papua Barat Daya telah melaporkan KPU RI dan KPU Papua Barat Daya ke Bawaslu RI. [3]
    4. Di Papua Selatan sempat terjadi penolakan oleh 3 anggota MRP Papua Selatan. Menurut mereka bakal calon gubernur Apolo Safanpo dan bakal calon gubernur Romanus Mbaraka tidak dapat masuk dalam kategori OAP, melainkan dikategorikan orang yang diakui.[4] Adapun, jika merujuk pada Pasal 2 angka 22 UU Nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus, maka frasa ‘diterima dan diakui’ juga masuk dalam kategori defenisi OAP. Sebelumnya MRP Papua Selatan telah mengeluarkan Keputusan untuk meloloskan semua calon gubernur dan wakil gubernur. Selain isu OAP ada juga isu eksplotasi hak ulayat dan sumber daya alam yakni kebijakan negara terkait Proyek Staregis Nasional (PSN), diduga kuat ada konspirasi tokoh adat tertentu dengan partai politik tertentu (penguasa) agar mendapatkan dukungan partai politik untuk berlaga pada pilkada dengan janji akan mengamankan PSN di Merauke. Untuk Papua Pegunungan, perdebatan mengenai defenisi OAP juga muncul namun tidak tajam dan kemudian ditutupi dengan gencarnya kampanye paslon-paslon di beberapa wilayah. Adapun di Papua Tengah dan Papua sempat terjadi penolakan terhadap paslon yang bukan berasal dari wilayah adat setempat, dilakukan oleh massa pendukung ataupun paslon tertentu hingga memunculkan isu politik identitas yang berpotensi pada perpecahan di tingkat masyarakat sipil khususnya ‘eksistensi” OAP itu sendiri sebagai satu kesatuan ras Melanesia di tanah Papua.
    5. Adapun di provinsi Papua Barat hanya ada satu paslon sehingga berhadapan dengan kotak kosong dan tidak ada reaksi terhadap satu-satunya paslon tersebut. Hal ini berbeda dengan situasi di Papua, ketika ada wacana kotak kosong pada Pilgub Papua, muncul protes dari beberapa kelompok termasuk tokoh gereja.[5] Protes yang ada di Papua Barat justru dialamatkan pada calon wakil gubernur yakni Mohamad Lakotani yang dikatakan bukan OAP padahal paslon ini (Dominggus Mandacan dan Mohamad Lakotani) telah memenangkan pilkada sebelumnya.[6]
    6. Posisi Wakil gubernur atau wakil bupati atau wakil walikota selalu menjadi ‘penentu pengumpul suara’ pasangan, misalnya karena berasal dari wilayah yang DPT nya paling banyak seperti untuk provinsi Papua Pegunungan, yang diambil adalah dari kabupatan Yahukimo sehingga dari 2 pasang calon yang ada mengambil wakil dari kabupaten Yahukimo atau pada pilkada di Mamberamo Raya. Dimana DPT paling banyak berasal dari distrik Waropen Atas. Atau dari segi etnis tertentu yang banyak, misalnya dari non-OAP dengan etnis dominan dari Sulawesi dan Jawa. Para calon menggambarkan representasi dari kekuatan etnis, modalitas finansial dan sosial dengan jumlah paslon 4 sampai 6 di satu kabupaten/kota bahkan hadirnya petahana dan adanya ‘tarung ulang’, sangat berpotensi semua pilkada akan berakhir di Mahkamah Konstitusi, dimana Putusan MK bisa saja akan menjadi salah satu pemicu konflik kekerasan sebagaimana yang terjadi sebelumnya di Yalimo, Intan Jaya, Puncak atau Boven Digoel. Potensi konflik lainnya adalah konflik yang melibatkan atau bersinggungan dengan isu kelompok bersenjata TPNPB. Misalnya karena indikasi kedekatan dengan paslon tertentu, isu penguasaan TPS tertentu ataupun ada kaitannya dengan dampak dari pembebasan pilot tanggal 21 September 2024.
    7. Hal lain yang penuh dinamika adalah surat persetujuan dari Partai Pengusung yakni melalui B.1KWK, yang paling banyak mendapat sorotan adalah Partai Golkar. Misalnya di kabupaten Pegunungan Bintang, saat tiba membawa rekomendasi B1KWK DPP Partai Golkar,  pasangan calon Bupati Theodorus Sitokdana dan Wakil Bupati Terianus Keduman dihadang massa pendukung Wakil Bupati Kris Bakweng Uropmabin untuk mengambilalih B1.KWK.[7] Demikian juga dukungan yang tidak searah, misalnya dukungan Partai Golkar untuk Papua Barat dan Papua Barat Daya bukan ke Ketua Golkar Papua Barat atau Papua Barat Daya namun ke individu tertentu atau ‘berpindahnya’ dukungan partai Golkar di Provinsi Papua ke calon tertentu di saat penentuan akhir di tingkat pimpinan Pusat. Partai Golkar juga, diduga kuat berada di balik kebijakan investasi PSN di Papua Selatan bersama beberapa partai politik lainnya ketika berkolaborasi dengan tokoh adat tertentu.
    8. Pelanggaran pilkada diduga dimulai sebelum penetapan paslon, kampanye, pungut hitung hingga rekapitulasi. Sejak awal beberapa isu telah mencuat: korupsi, penipuan, pemalsuan, money politic, politik identitas, bahkan telah terjadi penembakan terhadap staf Bawaslu Yahukimo. Lebih jauh, pelanggaran diduga akan terjadi bukan saja pada “pungut hitung’ akan tetapi justru yang paling rawan, massif, signifikan adalah pada saat rekapitulasi suara khususnya saat rekapitulasi di Distrik hingga pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah konflik pernah terjadi usai Putusan MK dibacakan. Putusan MK untuk melakukan PSU tidak cukup efektif untuk mengatasi adanya pelanggaran, oleh karenanya ada PSU yang dilakukan lebih dari sekali padahal aturan menegaskan bahwa PSU hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali. Namun PSU yang hanya satu kali pun, tidak membuat pelanggaran dapat dihentikan. Pada situasi yang demikian maka: waktu dan biayalah, yang melahirkan pemenang.
    9. Hal lain yang dikhawatirkan adalah praktik sistem noken terjadi di kabupaten yang tidak diperkenankan menggunakan sistem Noken. PKPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu di Pasal 118 ayat (1) berbunyi: Pemberian suara dengan sistem noken/ikat hanya diselenggarakan di Wilayah Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan pada kabupaten yang masih menggunakan noken/ikat’. Ketua KPU Papua tengah mengatakan enam dari 8 kabupaten di Papua Tengah yang masih menggunakan sistem noken: Dogiyai, Deiyai, Paniai, Puncak, Puncak Jaya dan Kab. Intan Jaya sedangkan kabupaten Nabire dan kabupaten Mimika tidak menggunakan sistem noken. Adapun Provinsi Papua Pegunungan ada 6 yang menggunakan sistem noken yakni: Kabupaten Jayawijaya, Tolikara, Lanny Jaya, Nduga, Mamberamo Tengah dan Yahukimo sementara Kabupaten Yalimo dan Pegunungan Bintang, tidak menggunakan sistem noken. Namun faktanya, ada indikasi kuat sistem noken akan dilakukan di dua kabupaten tersebut.

 

III. REKOMENDASI

  1. Penyelenggara memiliki kapasitas dan berintegritas yang lebih baik.
  2. Memperbaiki Data dan Adminsitrasi: DPT, KTP, Undangan dan Daftar Hadir.
  3. Bimtek dan sosialisasi bagi penyelenggara secara massif dan mendalam sehingga penyelenggara lebih dapat memahami tahapan pilkada mulai dari pemungutan hingga penghitungan.
  4. Deteksi ancaman dan analisa kerawanan diperkuat.
  5. Tahapan pilkada yang tepat waktu: ketersediaan dan distribusi logistik, pungut hitung & rekapitulasi.
  6. Menyediakan TPS yang nyaman dan aman bagi penyelenggara, saksi dan pemilih.
  7. Memperbanyak sosialisasi pada kelompok rentan (Pemilih pemula, disabilitas dan perempuan) termasuk menyediakan fasilitas khusus untuk kelompok disabilitas di TPS.
  8. Menyediakan TPS khusus bagi pemilih yang meninggalkan tempat tinggal karena konflik (pengungsi) misalnya pengungsi Nduga dan Maybrat agar dapat mengunakan hak pilihnya.
  9. Sentra Gakkumdu dan aparat penegak hukum lainnya melakukan penegakan hukum yang professional
  10. Memberikan sanksi yang tegas bagi ASN dan aparat keamanan yang terbukti tidak netral.
  11. Memperkuat koordinasi diantara penyelenggara dan pemerintah daerah.
  12. Menjamin keamanan dan adanya mekanisme perlindungan bagi penyelenggara.
  13. Peserta pilkada dan massa pendukung menghormati aturan yang ada.
  14. Selektif ketika menerima dan menyebarkan informasi serta memperbanyak ruang/jaringan klarifikasi untuk mencegah hoaks&politik identitas.
  15. Memperkuat kapasitas dan memperbanyak pemantau termasuk pemantauan terhadap penggunaan sistem noken.
  16. Memperbanyak pendidikan demokrasi di komunitas.

 

 

Jayapura, 1 Oktober 2024

Jaringan Pemantau Independen – AlDP di Papua

Kontak Person: Caca (0813-8012-1322) dan Ibra (0821-9938-7440)

 

[1] https://sorongnews.com/lawan-arus-ylbh-sisar-matiti-laporkan-anggota-mrpbd-ke-polda-papua-barat/

[2] https://jubi.id/rilis-pers/2024/gugatan-afu-dinilai-tidak-berdasar/

[3] https://suarapapua.com/2024/09/26/mrp-papua-barat-daya-gugat-kpu-ke-bawaslu-terkait-verifikasi-keaslian-oap/

[4] https://papua.tribunnews.com/2024/09/18/apolo-safanpo-merasa-disudutkan-keluarga-besar-asmat-beri-peringatan-ke-oknum-mrps-dan-tokoh-pps?page=2

[5] https://jubi.id/polhukam/2024/tokoh-tokoh-gereja-tolak-wacana-kotak-kosong-pada-pilkada-2024-di-provinsi-papua/

[6] https://www.rri.co.id/pilkada-2024/972833/das-mairasi-tolak-penetapan-mrpb-soal-marga-lakotani-oap

[7] https://www.odiyaiwuu.com/rekomendasi-disabotase-pegunungan/?amp=1

Categories
SIARAN PERS

Penyiksaan : Dimulai dari Penyangkalan Diakhiri dengan Impunitas

Siaran Pers

Penyiksaan:  Dimulai dari Penyangkalan Diakhiri dengan Impunitas

 

Video aksi penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI anggota Yonif Raider 300/Brawijaya  di Pos Gome Kabupaten Puncak tanggal 3 Pebruari 2024 menjadi perhatian dan keprihatinan kita bersama. Korbannya adalah Definus Kogoya, oleh anggota TNI dirinya diduga sebagai anggota TPNPB. Pada awal video diketahui oleh publik, terjadi penyangkalan yang dilakukan oleh pihak TNI yakni Pangdam XVII Cenderawasih.

Penyangkalan ini mengingatkan kita peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay tanggal 10 November 2001, bahkan Komandan Kopasus Tribuana di Hamadi, menyelenggarakan Konferensi Pers di markasnya sehari setelah peristiwa dan menyatakan bahwa diri dan institusinya tidak terlibat. Namun penyelidikan yang dilakukan oleh pihak Polda Papua, membuktikan bahwa penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay adalah hasil permufakatan jahat dari anggota Kopasus Tribuana.

Para pelaku pembunuhan Theys Hiyo Eluay diadili di peradilan militer, setelahnya karier mereka malah melejit, bahkan Komandannya mendapatkan pangkat Jenderal dan mendapatkan jabatan strategis di institusi militer. Sebagaimana pernyataan Jenderal TNI Raymizard Raycudu kala itu sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, katanya anggota Kopassus yang dihukum karena melakukan pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay adalah pahlawan.[1]

Pada tahun 2020 di Intan Jaya ada kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremias Zanambani. Awalnya anggota TNI menyangkal keterlibatan mereka atas peristiwa tersebut. Kapen Kogabwilhan III Kol Czi IGN Suriastawa berkata pendeta Yeremia ditembak ‘KKB’. Ia menuding penembakan terhadap pendeta sebagai setting-an menjelang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[2] Setelah desakan berbagai pihak dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah melakukan investigasi terungkap bahwa adanya dugaan keterlibatan anggota dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani. Rangkaian peristiwa lainnya adalah kasus hilangnya Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang ditahan di Koramil Sugapa pada 21 April 2020, keduanya dibunuh dan mayatnya dibakar. Kuat dugaan ada keterlibatan Kotis Yonif PR 433 JS Kostrad demikian juga kasus penembakan terhadap Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa pada 7 Oktober 2020.

Pada dokumen putusan di Mahmil-19 Jayapura para pelaku yang diduga terlibat pada rangkaian peristiwa di Intan Jaya, mangkir. Misalnya persidangan terhadap 3 prajurit dari Kodim 1418/Mamuju,Topdam IX/Udayana dan KIKAV 6/RBT yang ditempatkan pada Kodim Persiapan Paniai[3] dan 4 prajurit dari Yonif Raider 400/BR.[4] Juga 4 anggota TNI  Yonif Pararider 433 JS Kostrad yang diduga terlibat pada pembunuhan dan pembakaran jenazah Luther Zanambani dan Apinus Zanambani.[5] Komandan dari kesatuan masing-masing mengirim surat ke Mahmil-19 Jayapura, meminta persidangan dipindahkan ke tempat asal Kesatuan(di luar Papua).

Kita juga mencatat kasus Eden Babari dan Ronny Wandik ditembak oleh anggota TNI Yonif 712/900 dari Satuan Tugas Pinang Siri di Mile 34, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah pada 13 April 2020, hingga meninggal dunia. Pengadilan Militer III-14 Denpasar menyidangkan 2 Terdakwa yakni sersan Satu Vicente De Oliviera, dan Prajurit Kepala Bahari. Namun diputus bebas dari tuntutan hukum. Awalnya  oditur(Jaksa militer) mengajukan kasasi agar hukumannya sesuai tuntutan, namun oditur mencabut permohonan kasasinya yang menyebabkan kedua terdakwa bebas. Adapun 2 terdakwa lainnya disidangkan di peradilan militer Menado, diputus 7 tahun dan 6 tahun penjara dan hukuman tambahan dipecat dari kesatuannya. Ditingkat kasasi vonisnya ringan menjadi 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan, hukuman tambahan di pecat dari kesatuan, namun hukuman itu ditiadakan.[6]

Maka meskipun hasil investigasi menemukan ada keterlibatan anggota TNI, namun proses hukum terhadap mereka diduga kuat tidak dilakukan. Ataupun ketika proses hukum dilakukan, Mahkamah militer hanya menjadi ancaman semu, pada awalnya namun pada tahapan berikutnya cenderung menjadi tempat untuk melindungi dan menyelematkan prajurit dari pertangungjawaban pidana yang dilakukan terhadap warga sipil.

Strategi yang selalu digunakan oleh para petinggi TNI, berupa respon awal yang resisten tanpa mencari tahu terlebih dahulu, penyangkalan itu tadi, kemudian akan dilanjutkan dengan permintaan maaf ketika fakta yang ada terlanjur meluas dan menjadi konsumsi publik. Apapun argumentasi untuk membenarkan tindakan tersebut tentu tidak dapat diterima secara hukum karena tindakan penyiksaan tidak  dibenarkan  secara hukum baik yang dilakukan terhadap pihak yang diduga sebagai anggota kelompok bersenjata atau simpatisan atau informan apalagi terhadap masyarakat sipil. Berlanjutnya aksi penyiksaan seperti ini menunjukkan kelemahan dari sistem pendidikan militer. Apalagi tindakan main hakim sendiri disertai penyiksaan adalah pola berulang yang dipakai untuk mendapatkan pengakuan, membalas dendam dan merendahkan harkat dan martabat seseorang. Sebagai anggota TNI, seharusnya mengetahui tugas dan tanggungjawabnya. Anggota TNI tidak memiliki kewenangan untuk menahan atau melakukan interogasi terhadap warga sipil termasuk terhadap TPNPB karena ini merupakan ranahnya aparat kepolisian. Terhadap kejadian berulang seperti ini menunjukkan tidak ada langkah serius untuk mencegah atau menghukum pelakunya.

Maka kami mendesak :

  1. Segera dilakukan investigasi independen untuk memperoleh kebenaran dari peristiwa tanggal 3 Pebruari 2024 di Gome Kabupaten Puncak dan rangkaian peristiwanya secara utuh dan terang benderang terutama kronologi peristiwa, identitas dan latar belakang Definus Kogoya dan dua rekan lainnya;
  2. Pengadilan terhadap para pelaku dilakukan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura agar publik dapat mengakses informasi terkait proses hukum secara lebih mudah dan terbuka;
  3. Komandan kesatuan dari Yonif Raider 300/Brawijaya yang anggotanya diduga melakukan aksi penyiksaan agar tidak menggunakan alasan tertentu untuk memindahkan persidangannya ke pengadilan militer pada Kesatuan asal;
  4. Pemerintah segera merevisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997 agar anggota militer diadili di Pengadilan Umum sepanjang tidak terkait pelanggaran disersi dan administrasi;
  5. Revisi kebijakan keamanan di Papua terkait penempatan pasukan non organik dan profesionalisme aparat keamanan dalam menjalankan tugas dan tangungjawabnya untuk meminimalisasi tindakan diluar hukum/kewenangan institusi;
  6. Para pelaku konflik bersenjata yakni TNI/POLRI dan juga TPNPB agar menghormati dan melindungi warga sipil. Tidak dibenarkan melakukan penyiksaan dalam bentuk dan alasan apapun terhadap warga sipil apapun latar belakang tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Agar tidak memberi stigma dan saling tuduh yang berakibat pada jatuhnya korban dari warga sipil dan agar mencegah kejadian berulang terhadap warga sipil.

Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP)

Jayapura  27 Maret  2024

[1] https://suarapapua.com/2024/03/09/empat-terdakwa-pembunuhan-bebari-dan-wandik-dibebaskan-wujud-impunitas/

[2] https://hot.grid.id/read/182345496/tembaki-pendeta-di-intan-jaya-kkb-papua-putar-balikkan-fakta-sebut-tni-jadi-dalang-kematian-yeremia-kapen-kogabwilhan-iii-singgung-opm-caper-jelang-sidang-umum-pbb?page=all

[3] Lihat putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor:226-K/PM.III-19/AD/I/2021

[4] Lihat putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor:12-K/PM.III-19/AD/I/2022

[5] Lihat Putusan Pengadilan Militer III-9 Jayapura Nomor : 165-K/PM.III-19/AD/VIII/2021

[6] https://suarapapua.com/2024/03/09/empat-terdakwa-pembunuhan-bebari-dan-wandik-dibebaskan-wujud-impunitas/