Categories
FOKUS LAPORAN

ALDP ; Kisruh Papua, Jangan Jadi Agenda Tersendiri dari Pemerintah

Kota Jayapura – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar menyebutkan, unjuk rasa tolak rasisme yang menyebar di Papua dan Papua Barat, merupakan imbas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang dan Semarang.

Kata Anum, tindakan rasisme terhadap mahasiswa atau warga Papua di Pulau Jawa dan daerah lainnya sudah berlangsung lama dan mengakar. Tindakan rasisme, stigma dan diskriminisai yang dibangun terhadap orang Papua, jangan malahan menjadi agenda tersendiri yang dibawa oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat.

“Unjuk rasa ini jangan dijadikan power dari pemerintah lokal dengan membawa agenda sendiri yang pada akhirnya bukan menjadi maksud dan kehendak rakyat di tanah Papua. Harusnya penegakan hukum yang harusnya dituntut dan jangan jadi bias. Jangan pemerintah provinsi datang ke Jakarta, minta ini dan itu, atau bicara otsus plus lagi dan lainnya. Jika pun keinginan ini ada, harus ada kesepakatan dari seluruh masyarakat Papua, bukan menjadi agenda pemerintah semata,” ujarnya.

Menurut Anum, permasalahan di tanah Papua saat ini jangan diselesaikan dengan penurunan aparat keamanan yang besar di tanah Papua. Jika pola pengamanan dikedepankan, maka tak menjawab persoalan.

“Jangan dorong lagi pasukan ke Papua, sebab akan makin panjang permasalahannya. Masalah Papua saat ini bukan konflik horisontal, tapi justru penegakan hukum tak jalan pada pelaku rasisme terhadap orang Papua,” kata Anum, Rabu petang, 22 Agustus 2019, dalam keterangan persnya di Kantor ALPD Padangbulan, Kota Jayapura.

Anum melanjutkan, aksi massa yang terjadi hari ini merupakan gambaran penegakan hukum kepada pelaku rasisme di Indonesia tak jalan. Ia menyebutkan upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus membangun Papua dan selalu mengunjungi Papua salama 3 kali dalam satu tahun, tak membuahkan hasil untuk penghormatan harkat dan martabat orang asli Papua.

“Infrastruktur terus dibangun, tapi  reaksi masyarakat kenapa seperti ini? Salah satunya karena eksistensi orang Papua tak disentuh, penghormatan harkat dan martabat orang Papua tak dihargai. Kalaupun dikasih banyak uang, infrastruktur dibangun,  namun masalah dasar di Papua tak diselesaikan dengan baik,” jelasnya.

Unjuk rasa di sejumlah daerah hingga saat ini menjadi respon kemanusiaan yang ada di Papua, sehingga pemerintah harus serius untuk penegakan hukum dan demokrasi dijalankan.  *** (Katharina)

Categories
FOKUS LAPORAN

Tegas ; ALDP Kecam Persekusi Mahasiswa di Surabaya

Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) mengutuk keras praktik persekusi atas dasar rasis dan stigma terhadap mahasiswa Papua di Asrama mahasiswa di Surabaya, dan Malang. Menurut mereka peristiwa tersebut dibiarkan oleh institusi negara.

Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar, mengatakan dalam peristiwa itu institusi negara tidak bertindak adil dan profesional. Bahkan terkesan melakukan pembiaran sehingga praktik penghakiman massa dan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan terus terjadi.

“Pelanggaran yang diduga dilakukan oleh mahasiswa Papua di Surabaya perlu dilakukan pembuktian secara hukum,” tutur Latifah dalam keterangan tertulis, Senin 19 Agustus 2019.

Latifah menyebut Indonesia gagal sebagai bangsa yang majemuk sebab perilaku tersebut ia nilai inklusif, maka sikap toleransi dan nondiskriminasi masih sulit untuk diwujudkan. Ia menyebut tindakan itu sebagai rasis dan stigma terhadap masyarakat Papua.

Sebelumnya pada peringatan Hari Kemerdekaan RI pada Sabtu lalu, 17 Agustus 2019, terjadi penggerebekan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Pacar Keling, Kota Surabaya, Jawa Timur.

Penggerebekan dilakukan oleh aparat TNI diikuti pengepungan Satpol PP dan ormas. Sebanyak 43 mahasiswa digelandang ke Kantor Polres Surabaya.

Diduga penggerebekan dipicu kesalahpahaman setelah Bendera Merah Putih milik Pemerintah Kota Surabaya jatuh di depan asrama. Sedangkan di Malang terjadi bentrokan polisi dengan mahasiswa asal Papua yang demonstrasi pada 15 Agustus 2019.

Adapun ALDP menyerukan agar Pemerintah Provinsi Papua berkomunikasi dengan pemerintah di Kota Malang, Surabaya, dan kota lainnya yang menjadi destinasi pendidikan, untuk merawat hubungan yang harmonis antar etnis. Selain itu, mereka mendorong agar TNI, Polri, dan Kemendagri untuk menindak tegas aparaturnya yang terlibat dalam praktik rasis dan stigmatisasi.

Categories
FOKUS LAPORAN

AlDP “Kecam Persekusi Mahasiswa Papua”

Kota Jayapura – Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) mengutuk keras praktik persekusi atas dasar rasial dan stigma terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa di Malang (15 Agustus 2019), Surabaya (17 Agustus 2019) dan Semarang (18 Agustus 2019) yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan ormas.

Peristiwa tersebut terjadi di hadapan institusi negara (aparat TNI, Polri dan Satpol PP) bahkan disertai aksi pengeroyokan dan penganiayaan.

Dalam siaran persnya Senin (19/8/2019) ALDP melihat indikasi pelanggaran yang diduga dilakukan oleh mahasiswa Papua di asrama mahasiswa Papua di Surabaya perlu dilakukan pembuktian secara hukum, dan bukan dengan melakukan penghakiman massa yang disaksikan oleh institusi negara.

“Pada peristiwa tersebut, institusi negara tidak bertindak adil dan profesional bahkan terkesan melakukan pembiaran sehingga praktik penghakiman massa dan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan terus terjadi,” ujar Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar.

Menurut dia, tindakan penanganan yang dilakukan secara berlebihan oleh institusi negara telah pula mencerminkan perilaku diskriminasi dan intimidasi.

“Peristiwa ini menunjukan kegagalan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk sebab perilaku inklusif, toleransi dan nondiskriminasi masih sulit untuk diwujudkan. Kebinekaan tidak menciptakan keikaan karena tidak ada kesediaan untuk mengakui dan menghormati eksistensi masing-masing etnis dan negara tidak bersikap adil dalam melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi siapa saja,”ungkapnya.

Lanjut Anum, tindakan rasial dan stigma yang dilakukan adalah bentuk penghinaan dan penyangkalan terhadap harkat dan kemanusiaan yang jelas-jelas dilindungi oleh UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Demikian juga penanganan yang berlebihan telah melanggar Perkap Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Terkait peristiwa ini, ALDP pun menyerukan;

Pemerintah provinsi Papua berkomunikasi dengan pemerintah di Kota Malang, Surabaya, Semarang dan berbagai kota studi lainnya guna merawat hubungan yang harmonis di antara warga masyarakat di berbagai kota studi mahasiswa Papua maupun di antara berbagai komponen etnis atau masyarakat sipil yang ada di tanah Papua.

Pemerintah provinsi, kota dan kabupaten di kota-kota studi tempat mahasiswa Papua berada agar menginisiasi forum-forum dialog antar mahasiswa Papua dan berbagai komponen masyarakat sipil di wilayahnya guna memastikan terwujudnya kehidupan yang saling menghargai dan menghormati.

Berbagai komponen masyarakat sipil di manapun berada agar menghargai eksistensi masing-masing etnis dan agama serta mendorong perilaku non-diskriminasi dalam bentuk apapun serta menghargai penegakan hukum dan hak asasi manusia.

Semua komponen masyarakat sipil, khususnya organisasi kemahasiswaan, di manapun berada agar turut menuntut negara memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, bebas dari sikap rasis dan stigmatisasi terhadap mahasiswa atau siapapun sebagai wujud dari negara yang menjunjungi tinggi demokrasi dan keadilan.

Kepolisian harus menindak tegas pelaku tindakan rasial, stigmatisasi, penganiayaan serta pengeroyokan terhadap mahasiswa Papua.

Kapolri, panglima TNI dan Kementrian Dalam Negeri menindak tegas aparatnya yang terlibat dalam melindungi dan melakukan pembiaran terhadap praktik rasis dan stigmatisasi, penganiayaan serta pengeroyokan terhadap mahasiswa Papua.

 

Categories
FOKUS LAPORAN

Hari HAM ; AlDP Soroti Penyelesaian Kasus Penggaran HAM Papua

JAYAPURA   –  Direktris Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP), Latifa Anum Siregar, mengatakan, bahwa  dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 2017.    Pelanggaran HAM menjadi isu yang paling menarik di Papua.  Tidak saja dalam dimensi hukum tetapi juga karena alasan politik dan ekonomi, Minggu (10/12/2017)

“Di Papua, stigma selalu menjadi pemicu terjadinya Pelanggaran HAM di bidang hak sipil dan politik. Terjadi diskriminasi terhadap kebebasan berkumpul dan berekspresi. Perbedaan persepsi menimbulkan kecurigaan dan intimidasi.  Aspirasi dan kritik selalu dipandang negatif sehingga
menjadi ‘tabungan’ kejahatan atas nama kewenangan. Ketidakadilan hukum
ini menyebabkan negara menjadi satu-satunya sumber kebenaran dan
aturan menjadi alat kekuasaan”, kata Anum Siregar, di Jayapura, Minggu (10/12/2017).
Perjuangan untuk keadilan dan kebenaran kadang bersinggungan dengan upaya untuk membangun eksistensi, rekognisi juga untuk menancamkan kedaulatan atas tanah papua yang kaya ini. Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya juga terjadi seperti land grabbing, eksploitasi sumber daya alam hingga gagalnya program kemitraan di area investor. Meski kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan buruk amun terjadi saling lempar tanggungjawab. jelas Anum nama sapaanya.

Selain itu, ujar perempuan pengiat HAM itu kebijakan ‘pemerataan ekonomi’ melalui berbagai bantuan langsung telah mengubah pola pangan dan pola hidup masyarakat secara signifikan. Tingginya kasus kriminal bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri karena lebih banyak dipengaruhi oleh persoalan struktural akibat ketidakadilan sosial dan tidak terjadinya poses hukum yang professional dari kasus-kasus kejahatan sebelumnya. Menggangu relasi sosial dan budaya diantara masyarakat sipil sebab berpotensi konflik horizontal.

Saat mengawali kampanye Pilpres bulan Juni 2014, presiden Jokowi telah berjanji akan memberikan perhatian khusus terhadap Papua karena Papua  penting bagi Indonesia. Tahun 2015, grasi diberikan bagi narapidana politik, namun kebebasan berkumpul dan berekspresi terus direpresi.
Pada april 2016, presiden Jokowi melalui menkopolhukam menegaskan, bahwa pembangunan di Papua akan dilakukan secara holistik dan  penyelesaian masalah HAM adalah salah satu bagian dari pembangunan holistik.
Pada mei 2016 membentuk Tim Terpadu Penyelesaian pelanggaran HAM di Papua bahkan berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM diakhir tahun 2016. Juga berjanji bahwa kebijakan pembangunan di Papua akan memperhatikan konteks lokal melalui pendekatan pada 7 wilayah
adat seperti pembangunan masa pemerintahan Belanda.
Namun,  pada prakteknya pembangunan berfokus pada infrastruktur. Persis seperti fokus pembangunan di provinsi lainnya di Indonesia. Tidak ada konteks lokal. Tidak ada pembangunan holistik dan kabar berita Tim Terpadu pun
senyap.
Jelas bahwa Presiden Jokowi secara konsisten menjauhkan dirinya dari komitmen untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di Papua.  Pemerintah khawatir jika upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Papua justru menjustifikasi telah terjadinya kejahatan kemanusiaan di Papua.
Lalu dijadikan ‘amunisi’ oleh kelompok-kelompok yang dikategorikan berseberangan dengan pemerintah, terutama kelompok pro Papua merdeka. Olehnya itu penyelesaian kasus pelanggaran HAM hanya untuk komoditi politik. Menahan laju eksternalisasi isu Papua di Pasifik dan belahan
dunia lainnya bukan untuk keadilan korban.
Buktinya kasus Paniai tahun 2014 yang terjadi di semester pertama pemerintahannya tidak bergerak maju dari penyelidikan ke penyidikan.
Kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 meski sudah di depan istana, masih berusaha di’kabur’kan. Aturan dipakai untuk melindungi aparat dengan argumentasi tindakan yang dilakukan telah sesuai prosedur alias
tindakan yang dilakukan terhadap korban sudah tepat(pantas?), atau setidaknya kesalahan dijatuhkan pada ‘oknum’. Tanpa pertanggungjawaban negara, tanpa proses hukum atau sedapat mungkin dilakukan penyelesaian secara adat. Sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM digiring ke arah
kriminal. Opini publik dibentuk dan bergerak cepat mendahului (menghentikan) proses penyelidikan yang pro justisia. Opini dibentuk mulai di tingkat lokal hingga internasional. Bahkan ada juga
instrument masyarakat sipil yang ikut menjalankan agenda tersebut.
Sungguh sangat tidak mungkin kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan jika masih ada pihak-pihak yang ingin menyimpan bagian-bagian tertentu dari kasus tersebut. Seperti peristiwa ‘drama penyanderaan” di Tembagapura pada November 2017. Siapa yang memobilisasi pendulang-pendulang itu?, darimana dan kemana para pendulang itu datang dan pergi?, mengapa dan untuk apa penduduk asli itu
dievakuasi?, siapa sebenarnya yang disebut sebagai KKB?.
Dimana Polisi, TNI, manajemen PT Freeport dan pemerintah dalam pusaran konflik itu?. Seperti apa saja relasi yang terjadi diantara mereka?.  Apakah selama ini sudah pernah ada pelaku aksi kekerasan di sekitar areal penambangan PT Freeport yang ditangkap?. Bagian apa saja yang masih disimpan di kasus Wasior 2001, Wamena 2003, Paniai 2014 dan kasus-kasus lainnya?. Masih banyak pertanyaan berarti masih banyak yang disembunyikan.
Apakah dalam perjuangan hak asasi manusia kita tetap konsisten ataukah telah ikut tergiring ke ruang politik itu, menjadikanya sebatas konsumsi pemberitaan yang dengan mudah dapat dilupakan, semata untuk menjaga eksistensi dan rekognisi, ataukah hanya intelektual exercise.
Maka yang utama adalah penting selalu ‘mencurigai’ diri sendiri, agar tetap konsisten berada di ruang yang benar-benar jujur dan adil tanpa memandang perbedaan simbol apapun atau takut pada intervensi apapun. Dan, tentu saja presiden Jokowi paling berwajib memenuhi janji dan tanggungjawabnya untuk memberikan perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia di Papua melalui proses hukum yang transparan, professional dan imparsial. (Richard Mayor)