JAYAPURA – Direktris Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP), Latifa Anum Siregar, mengatakan, bahwa dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 2017. Pelanggaran HAM menjadi isu yang paling menarik di Papua. Tidak saja dalam dimensi hukum tetapi juga karena alasan politik dan ekonomi, Minggu (10/12/2017)
“Di Papua, stigma selalu menjadi pemicu terjadinya Pelanggaran HAM di bidang hak sipil dan politik. Terjadi diskriminasi terhadap kebebasan berkumpul dan berekspresi. Perbedaan persepsi menimbulkan kecurigaan dan intimidasi. Aspirasi dan kritik selalu dipandang negatif sehingga
menjadi ‘tabungan’ kejahatan atas nama kewenangan. Ketidakadilan hukum
ini menyebabkan negara menjadi satu-satunya sumber kebenaran dan
aturan menjadi alat kekuasaan”, kata Anum Siregar, di Jayapura, Minggu (10/12/2017).
Perjuangan untuk keadilan dan kebenaran kadang bersinggungan dengan upaya untuk membangun eksistensi, rekognisi juga untuk menancamkan kedaulatan atas tanah papua yang kaya ini. Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya juga terjadi seperti land grabbing, eksploitasi sumber daya alam hingga gagalnya program kemitraan di area investor. Meski kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan buruk amun terjadi saling lempar tanggungjawab. jelas Anum nama sapaanya.
Selain itu, ujar perempuan pengiat HAM itu kebijakan ‘pemerataan ekonomi’ melalui berbagai bantuan langsung telah mengubah pola pangan dan pola hidup masyarakat secara signifikan. Tingginya kasus kriminal bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri karena lebih banyak dipengaruhi oleh persoalan struktural akibat ketidakadilan sosial dan tidak terjadinya poses hukum yang professional dari kasus-kasus kejahatan sebelumnya. Menggangu relasi sosial dan budaya diantara masyarakat sipil sebab berpotensi konflik horizontal.
Saat mengawali kampanye Pilpres bulan Juni 2014, presiden Jokowi telah berjanji akan memberikan perhatian khusus terhadap Papua karena Papua penting bagi Indonesia. Tahun 2015, grasi diberikan bagi narapidana politik, namun kebebasan berkumpul dan berekspresi terus direpresi.
Pada april 2016, presiden Jokowi melalui menkopolhukam menegaskan, bahwa pembangunan di Papua akan dilakukan secara holistik dan penyelesaian masalah HAM adalah salah satu bagian dari pembangunan holistik.
Pada mei 2016 membentuk Tim Terpadu Penyelesaian pelanggaran HAM di Papua bahkan berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM diakhir tahun 2016. Juga berjanji bahwa kebijakan pembangunan di Papua akan memperhatikan konteks lokal melalui pendekatan pada 7 wilayah
adat seperti pembangunan masa pemerintahan Belanda.
Namun, pada prakteknya pembangunan berfokus pada infrastruktur. Persis seperti fokus pembangunan di provinsi lainnya di Indonesia. Tidak ada konteks lokal. Tidak ada pembangunan holistik dan kabar berita Tim Terpadu pun
senyap.
Jelas bahwa Presiden Jokowi secara konsisten menjauhkan dirinya dari komitmen untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di Papua. Pemerintah khawatir jika upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Papua justru menjustifikasi telah terjadinya kejahatan kemanusiaan di Papua.
Lalu dijadikan ‘amunisi’ oleh kelompok-kelompok yang dikategorikan berseberangan dengan pemerintah, terutama kelompok pro Papua merdeka. Olehnya itu penyelesaian kasus pelanggaran HAM hanya untuk komoditi politik. Menahan laju eksternalisasi isu Papua di Pasifik dan belahan
dunia lainnya bukan untuk keadilan korban.
Buktinya kasus Paniai tahun 2014 yang terjadi di semester pertama pemerintahannya tidak bergerak maju dari penyelidikan ke penyidikan.
Kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 meski sudah di depan istana, masih berusaha di’kabur’kan. Aturan dipakai untuk melindungi aparat dengan argumentasi tindakan yang dilakukan telah sesuai prosedur alias
tindakan yang dilakukan terhadap korban sudah tepat(pantas?), atau setidaknya kesalahan dijatuhkan pada ‘oknum’. Tanpa pertanggungjawaban negara, tanpa proses hukum atau sedapat mungkin dilakukan penyelesaian secara adat. Sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM digiring ke arah
kriminal. Opini publik dibentuk dan bergerak cepat mendahului (menghentikan) proses penyelidikan yang pro justisia. Opini dibentuk mulai di tingkat lokal hingga internasional. Bahkan ada juga
instrument masyarakat sipil yang ikut menjalankan agenda tersebut.
Sungguh sangat tidak mungkin kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan jika masih ada pihak-pihak yang ingin menyimpan bagian-bagian tertentu dari kasus tersebut. Seperti peristiwa ‘drama penyanderaan” di Tembagapura pada November 2017. Siapa yang memobilisasi pendulang-pendulang itu?, darimana dan kemana para pendulang itu datang dan pergi?, mengapa dan untuk apa penduduk asli itu
dievakuasi?, siapa sebenarnya yang disebut sebagai KKB?.
Dimana Polisi, TNI, manajemen PT Freeport dan pemerintah dalam pusaran konflik itu?. Seperti apa saja relasi yang terjadi diantara mereka?. Apakah selama ini sudah pernah ada pelaku aksi kekerasan di sekitar areal penambangan PT Freeport yang ditangkap?. Bagian apa saja yang masih disimpan di kasus Wasior 2001, Wamena 2003, Paniai 2014 dan kasus-kasus lainnya?. Masih banyak pertanyaan berarti masih banyak yang disembunyikan.
Apakah dalam perjuangan hak asasi manusia kita tetap konsisten ataukah telah ikut tergiring ke ruang politik itu, menjadikanya sebatas konsumsi pemberitaan yang dengan mudah dapat dilupakan, semata untuk menjaga eksistensi dan rekognisi, ataukah hanya intelektual exercise.
Maka yang utama adalah penting selalu ‘mencurigai’ diri sendiri, agar tetap konsisten berada di ruang yang benar-benar jujur dan adil tanpa memandang perbedaan simbol apapun atau takut pada intervensi apapun. Dan, tentu saja presiden Jokowi paling berwajib memenuhi janji dan tanggungjawabnya untuk memberikan perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia di Papua melalui proses hukum yang transparan, professional dan imparsial. (Richard Mayor)