Categories
FOKUS LAPORAN

Pemerintah Tawari Banyak Hak ke Eks Tapol Papua

Makassar, – Penasihat hukum atau PH tujuh tahanan politik Papua yang diadili dan menjalani hukuman di Balikpapan, Kalimantan Timur menyatakan, pascamenjalani proses hukum, kliennya mendapat berbagai tawaran dari pemerintah. Pernyataan itu dikatakan koordinator tim PH tujuh Tapol Papua, Latifah Anum Siregar dalam diskusi daring “Makar, Pemenjaraan, Aktor Anti-Rasisme Papua, dan Kebebasan Berpendapat”. Diskusi ini digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (BEM STH) Indonesia Jentera, Jakarta pada Senin sore (27/7/2020).

 

“Setelah mereka ke luar [penjara], mereka ditawari pemerintah. Mau usaha apa? bagaimana kuliah mereka [dan lainnya],” kata Anum. Menurutnya, tuduhan makar kepada aktivis atau warag Papua selalu berkaitan dengan hal, yakni politik dan hukum. Bahkan setiap aktivitas masyarakat cenderung dikaitkan dengan makar. Katanya, tujuh orang kliennya yang diadili dan menjalani hukuman di Balikpapan merupakan tumbal dari stigma makar. Kliennya disebut penegak hukum sebagai dalang kerusuhan semua peristiwa di Papua periode Agustus 2019 hingga September 2019.

“Padahal saat peristiwa 23 September 2019 di Wamena, mereka sudah ditangkap,” ujarnya. Pengajar hukum pidana STH Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari mengatakan ada saat Belanda menyusun KUHP yang digunakan Indonesia hingga kini, tidak ditemukan ada redaksional kata makar. Yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai kata makar adalah bahasa Belanda ‘aanslag’ yang berarti serangan.

“Saya menduga saat [KUHP yang dibuat Belanda] diterjemahkan [ke dalam bahasa Indonesia] saat itu, [kata] aanslag disandingkan dengan makar karena belum ada padanannya dalam kosa kata kita,” kata Anugerah.

Menurutnya, kini makar disalah tafsirkan. Penegak hukum sering keliru tentang makna dan pengertiannya, yang kini berkembang luas. Misalnya pengibaran bendera separatis dianggap makar, ibadah di lingkungan kelompok yang dianggap seperatis hingga menjadi anggota kelompok itu dianggap makar. “Bagaimana bisa menghubungkan konteks ibadah dengan membubarkan atau memisahkan diri dari NKRI. Kita berdoa saja pada Tuhan, NKRI tidak akan hilang. Butuh lebih dari itu,” ujarnya. (*) Editor: Edho Sinaga

Artikel ini telah tayang di Jubi.CO.ID

Categories
FOKUS LAPORAN

Ada 86 Tahanan Papua Dikenakan Pasal 106 KUHP Tentang Makar, Tahun 2019

Data Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) menyebutkan bahwa sejak tahun 2019, tercatat 86 orang tahanan asal Papua, di Papua. Mereka dikenakan pasal politik yakni, Pasal 106 KUHP tentang “Makar”.

“Salah satu pasal dalam delik terhadap keamanan negara yang paling sering digunakan oleh negara adalah Pasal 106 KUHP tentang “Makar” dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam, dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun,” kata Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar, Jumat (28/02/2020), saat mengelar jumpa pers, di Kantor ALDP, Padang Bulan, Jayapura, Papua.

Anum menyebutkan, Di Papua, Pasal 106 KUHP tentang “Makar” cenderung digunakan terkait dengan peristiwa kebebasan berekspresi, berkumpul dan menyampaikan pendapat ataupun peristiwa lain (seperti menjual atau menggunakan tas, gelang, kalung, membuat kue, mengecat bangunan, mencoret tubuh dan lain sebagainya), yang didalamnya menampilkan benda, simbol, semboyan Papua Merdeka seperti bendera Bintang Kejora ataupun ekspresi lainnya.

“Di Papua segala ekspresi yang berkaitan dengan bintang kejora sudah pasti para pelakunya dikarenakan Pasal 106 KUHP. Dan jika para pelakunya sudah dikenakan Pasal 106 KUHP, maka status yang disandang oleh pelakunya adalah sebagai tahanan politik (Tapol). Terlepas dari hasil persidangannya di Pengadilan, entah apakah terbukti atau tidak terbukti delik yang dituduhkan itu,” sebut Direktur ALDP itu.

Berikut tabel tersangka/terdakwa makar, sejak tahun 2019, dikenakan Pasal 106 KUHP : Delik Kejahatan terhadap Keamanan Negara :

  • 8 Januari 2019, Timika 3 orang
  • 28 – 29 Agustus 2019, Jakarta 6 orang
  • 2 September 2019, Manokwari 1 orang
  • 5 – 24 September 2019, Jayapura 8 orang
  • 18 September 2019, Sorong 4 orang
  • 19 September 2019, Manokwari 3 orang
  • 30 November 2019, Jayapura 20 orang
  • 1 Desember 2019, Fak – Fak 23 orang , Manokwari 7 orang, dan Sorong 11 orang

Total semua tersangka pasal makar sepanjang tahun 2019 : 86 orang

Sebagian ditangguhkan, sedangkan yang lainnya sedang menjalani proses persidangan.

(Richard Mayor)

Categories
LAPORAN Web

Hentikan Siklus Kekerasan, Negara Segera Bangun Dialog Inklusif

Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Yayasan Kerjasama untuk Demokrasi dan Keadilan, menyesalkan, prihatin dan sangat berduka atas peristiwa yang terjadi di Papua dalam 2 minggu terakhir ini, secara khusus terkait dengan aksi pada hari Kamis, 29 Agustus 2019 dan hari Jumat, 30 Agustus 2019 serta peristiwa yang terjadi setelahnya.

Kami menyadari bahwa sejak awal penanganan yang tidak dilakukan dengan tepat terhadap beberapa permasalahan mendasar di Papua menyebabkan menguatnya konflik antara negara dan orang Papua dan pada situasi tertentu dapat beralih atau berpotensi menjadi konflik horizontal sebagaimana yang terjadi dalam beberapa waktu ini.

Bahwa aksi massa yang terjadi pada Kamis 29 Agustus 2019 telah menimbulkan praktek anarkis khususnya terhadap unit-unit usaha warga perorangan, sehingga menimbulkan kerugian, penderitaan dan korban jiwa.

Bahwa aksi tersebut telah menimbulkan reaksi spontan dari warga atau masyarakat korban. Bahwa reaksi yang dilakukan oleh kelompok warga atau masyarakat korban telah pula melampaui batas-batas kewajaran hingga jatuhnya korban jiwa.

 

Kami menyadari situasi ini merupakan ujian terberat kita sebagai warga ketika negara gagal hadir untuk memberikan keadilan dan perlindungan.

Bahwa aksi ataupun reaksi yang ditimbulkan dari peristiwa-peristiwa tersebut telah melukai kemanusiaan kita. Nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas yang kita bangun selama ini sebagai warga Papua khususnya kota Jayapura menjadi retak.

Kita mengabaikan hubungan yang saling membutuhkan, Padahal hanya dengan cara itu, kita bisa membangun kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.

Sesungguhnya kita tidak menghendaki Papua menjadi medan pertarungan diantara warga penduduknya ataupun menjadi ruang perebutan sumber daya politik atau identitas kelompok yang melahirkan siklus kekerasan.

Peristiwa-peristiwa tersebut jika tidak ditangani dengan tepat maka akan mewariskan luka diantara para korban, kekecewaan dan kemarahan makin meluas, isu dan aktor-aktor yang terlibat makin banyak sehingga penanganan pun akan menjadi lebih rumit.

Berdasarkan informasi yang diperoleh EKORA NTT, AIDP menyerutkan agar:

  1. Berbagai pihak dapat menahan diri, menghindari perilaku diluar batas kemanusian dalam berekspresi ataupun merespon berbagai hal yang terjadi.  Membangun komunikasi yang konstruktif di internal komunitas masing-masing dengan senantiasa melakukan klarifikasi atas semua informasi yang didapat dan berkembang guna menghindari provokasi dan peristiwa kekerasan yang lebih besar dan meluas;
  2. Para tokoh komunitas berbagai etnis dan agama mengambil peran aktif untuk membangun komunikasi di komunitas masing-masing dan membangun koordinasi dengan berbagai lintas etnis dan agama untuk membangun suasana yang lebih tenang;
  3. Pemerintah menghindari pendekatan kekuasaan dan mengedepankan  penegakan hukum yang tegas dan tidak memihak kepada siapapun sebagai pelaku aksi kekerasan. Serta mengusut tuntas pihak-pihak yang diduga terlibat, memprovokasi atau menjadi aktor utama dibalik peristiwa-peristwa tersebut;
  4. Pemerintah setempat turut hadir dan berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan membangun komunikasi yang inklusif dengan berbagai komunitas di Papua khususnya Jayapura serta memberikan kompensasi terhadap para korban dari peristiwa-peristiwa tersebut;
  5. Pemerintah agar mengambil langkah konkrit untuk pemenuhan HAM dan persamaan dimuka hukum agar rakyat bebas dari rasisme dan anarkis serta membuka dialog yang inklusif untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan mendasar guna membangun perdamaian di tanah Papua.
Categories
FOKUS LAPORAN

Kedepankan Dialog Inklusif untuk Papua Damai

Kota Jayapura – Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), prihatin dan berduka dengan peristiwa yang terjadi di Papua dalam dua pekan terakhir, secara khusus pada aksi anarkis di Kota Jayapura, pada Kamis, 29 Agustus 2019 dan hari Jumat, 30 Agustus 2019 serta peristiwa yang terjadi setelahnya.

ALDP menyebutkan penanganan yang tidak tepat terhadap permasalahan mendasar di Papua, menyebabkan menguatnya konflik antara negara dan orang. Kemudian pada situasi tertentu dapat berpotensi menjadi konflik horizontal, sebagaimana yang terjadi belakangan ini.

 

Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar menyebutkan aksi massa pada Kamis 29 Agustus 2019 telah menimbulkan praktek anarkis terhadap unit-unit usaha warga perorangan, sehingga menimbulkan kerugian, penderitaan dan korban jiwa.

“Aksi tersebut telah menimbulkan reaksi spontan dari warga atau masyarakat korban. Bahwa reaksi yang dilakukan oleh kelompok warga atau masyarakat korban telah pula melampaui batas kewajaran, hingga jatuhnya korban jiwa. Kami menyadari situasi ini merupakan ujian terberat kita sebagai warga ketika negara gagal hadir untuk memberikan keadilan dan perlindungan,” ujarnya, dalam surat tertulis yang diterima kabarpapua, Minggu 1 September 2019.

Lanjut Anum, reaksi yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut telah melukai kemanusiaan. Nilai kebersamaan dan solidaritas yang telah bangun selama ini sebagai warga Papua di Kota Jayapura menjadi retak.

“Kami yakin, kita semua tak menghendaki Papua menjadi medan pertarungan antara warga penduduknya ataupun menjadi ruang perebutan sumber daya politik atau identitas kelompok yang melahirkan siklus kekerasan,” ujarnya.

Sementara, jika peristiwa ini tak ditangani dengan tepat, maka akan mewariskan luka diantara para korban, kekecewaan dan kemarahan makin meluas, isu dan aktor-aktor yang terlibat makin banyak sehingga penanganan pun akan menjadi lebih rumit.

Atas kejadian tersebut, ALDP menyerukan lima poin yakni :

  1. Berbagai pihak dapat menahan diri, menghindari perilaku diluar batas kemanusian dalam berekspresi ataupun merespon berbagai hal yang terjadi.  Membangun komunikasi yang konstruktif di internal komunitas masing-masing dengan senantiasa melakukan klarifikasi atas semua informasi yang didapat dan berkembang guna menghindari provokasi dan peristiwa kekerasan yang lebih besar dan meluas;
  2. Para tokoh komunitas berbagai etnis dan agama mengambil peran aktif untuk membangun komunikasi di komunitas masing-masing dan membangun koordinasi dengan berbagai lintas etnis dan agama untuk membangun suasana yang lebih tenang;
  3. Pemerintah menghindari pendekatan kekuasaan dan mengedepankan  penegakan hukum yang tegas dan tidak memihak kepada siapapun sebagai pelaku aksi kekerasan. Serta mengusut tuntas pihak-pihak yang diduga terlibat, memprovokasi atau menjadi aktor utama dibalik peristiwa tersebut;
  4. Pemerintah setempat turut hadir dan berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan membangun komunikasi yang inklusif dengan berbagai komunitas di Papua khususnya Jayapura serta memberikan kompensasi terhadap para korban dari peristiwa-peristiwa tersebut;
  5. Pemerintah agar mengambil langkah konkrit untuk pemenuhan HAM dan persamaan di muka hukum agar rakyat bebas dari rasisme dan anarkis serta membuka dialog yang inklusif untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan mendasar guna membangun perdamaian di tanah Papua.  ***