Categories
BERITA FOKUS

Pemekaran Papua “Untuk Siapa ?”

Pemekaran wilayah di Papua tak terhindarkan. Melalui UU Otonomi Khusus Papua 2021, skenario menyederhakan upaya ini telah dirancang. DPR memandang pemekaran penting untuk mempercepat pembangunan kawasan.

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung meyakini bahwa Papua adalah wilayah dan isu yang strategis, tidak hanya secara nasional, tetapi juga internasional. Karena itu, katanya, harus ada upaya lebih untuk mempercepat pertumbuhan wilayah dan meratakan hasil pembangunan.

DPR berkeyakinan memekarkan wilayah Papua adalah jalan keluar untuk persoalan ini.

“Ketika kita menyimpulkan bahwa pemekaran daerah itu bagian dari proses percepatan pembangunan di Papua, dan pemerataan di seluruh Indonesia, maka lebih cepat lebih bagus,” kata Ahmad Doli.

Ketua Komisi II DPR itu berbicara dalam diskusi Pemekaran Papua untuk Siapa, yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (24/2).

Ahmad Doli menambahkkan upaya mempermudah rentang kendali proses pembangunan di daerah dilakukan dengan menciptakan pemerintahan-pemerintahan baru. Karena itulah, sejak awal proses penyederhanaan pemekaran daerah di Papua sudah dimasukkan dalam UU Otsus 2021.

“Kalau kita ingin mempercepat pembangunan di tanah Papua itu dari segala aspek, baik dari aspek ekonomi, infrastruktur, sosial budaya, termasuk politik, kita harus makin memperpendek rentang kendali implementasi dari kebijakan yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun di daerah,” kata Ahmad Doli.

Komisi II DPR, lanjut dia, telah melakukan akselerasi untuk menangani isu ini. Setelah UU Otsus 2021 disahkan, kata Ahmad Doli, maka proses pemekarannya juga harus segera dimulai.

Komisi II DPR telah mengambil inisiatif dengan menyusun draft naskah akademik dan draft rancangan undang undang pemekaran itu. Mereka juga berkomunikasi dengan pemerintah tentang persiapan-persiapan yang dibutuhkan.

“Dan sampai sejauh ini, kami melihat ada komitmen yang tinggi dari Pak Presiden Jokowi secara khusus atau pemerintah pemerintah pusat, untuk segera melakukan proses pemekaran itu,” tambahnya.

Pemekaran Dinilai Berhasil

Wali Kota Sorong Lamberthus Jitmau dalam diskusi ini meminta seluruh pihak melihat isu pemekaran dari sisi positif.

“Pemekaran ini jangan kita melihat dari negatifnya, tapi kita melihat dari sisi positifnya. Pemekaran hadir untuk memberikan jawaban, atau solusi yang terbaik untuk masyarakat yang ada di setiap daerah yang mau dimekarkan,” kata Lamberthus, yang juga Ketua Tim Percepatan Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya.

Lamberthus mengingatkan ketika bergabung dengan Indonesia pada tahun 60-an, Papua hanya terdiri dari satu provinsi. Wilayahnya sangat luas, tiga setengah kali luas pulau Jawa. Sementara di sisi lain, kondisi geografisnya tidak mudah ditaklukkan.

“Dengan medan yang sangat sulit, dengan satu provinsi kita tidak mampu untuk melakukan terobosan-terobosan, membangun infrastruktur, apapun namanya, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bangsa yang ada di tanah Papua,” ujarnya.

Kondisi menjadi sedikit lebih baik, ketika Papua kemudian dimekarkan menjadi dua provinsi, sekitar 19 tahun yang lalu. Kendali pemerintahan, kata Lamberthus, lebih terjangkau dan masyarakat Papua di pegunungan, pesisir dan pulau-pulau bisa merasakan manfaatnya.

Kini ada dua provinsi di sana, yaitu Papua dan Papua Barat. Provinsi Papua memiliki 29 daerah tingkat dua, dan Papua Barat memiliki 13. Seluruh daerah ini, kata Lamberthus, menerima dana pembangunan dari APBN, dan karena itu menjadi lebih mudah memberikan pelayanan kepada masyarakat.

“Kami sangat siap, segala galanya. SDA kami siap, SDM kami siap, PAD dan lain lain kami siap. Jangan ada alasan bahwa anggaran ini dan itu,” tegas Lamberthus.

Rencana Pemekaran Dipertanyakan

Suara berbeda disampaikan Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua.

“Apakah itu pemekaran menjadi penting? Kalau kita anggap pemekaran sarana, bukan tujuan, bisa banyak cara untuk mensejahterakan rakyat Papua tanpa melalui pemekaran. Kalau itu memang komitmen pemerintah,” kata Latifah.

Salah satu strategi mencipatakan kesejahteraan, lanjutnya, adalah melalui pusat kegiatan ekonomi. Pemerintah tidak cukup membuka jalan di wilayah Papua, tetapi juga harus menyiapkan pusat-pusat ekonomi yang fokus di loasi terdekat. Pusat ekonomi ini, lanjut Latifah, biasa di di setiap distrik, tidak harus berada di tingkat kabupaten.

“Dan itu tidak perlu harus dengan pemekaran,” lanjutnya.

Latifah menegaskan bahwa pemerintah juga bisa menciptakan kesejahteran di Papua dengan mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan sipil dan pelayanan publik. Pelayan publik harus ada di tempat.

Upaya penegakan hukum juga penting dilakukan, baik kasus-kasus Hak Asasi Manusia, maupun pelanggaran hukum yang dilakuan pejabat publik atau penyelenggara pemerintahan. Ada persepsi, selama ini penegakan hukum terhadap pejabat pemerintah lokal tidak berjalan karena pemerintah pusat takut upaya itu akan melahirkan tuntutan Papua merdeka.

“Jadi lucu, menganggap enggak apa-apa terjadi kekacauan penyelenggaraan pemerintahan, yang penting orang tidak minta merdeka. Itu juga salah,” tambahnya.

Latifah juga berharap ada diskusi lebih dalam terkait rencana pemekaran ini. Institusi pemerintahan di daerah, seperti DPRP, MRP serta masyarakat sipil, terutama orang asli Papua, harus dilibatkan secara bermartabat untuk mendiskusikan permasalahan dan solusi, termasuk mengenai pemekaran.

“Jadi mau pemekaran ataupun tidak, ajak orang Papua bicara. Bukan seperti sekarang, bungkusnya UU Otsus, chasing-nya Papua, tetapi isinya politik Jakarta hari ini. Orang Papua dikasih apa saja tanpa diajak bicara. Yang setuju seperti apa, tidak setuju karena apa. Terus cari solusi bersama,” kata Latifah.

Pemerintah sendiri meyakini bahwa masalah di Papua adalah kesejahteraan. Namun, sejauh ini yang diambil adalah pendekatan keamanan. Menurut Latifah, ini adalah sebuah paradoks.

Latifah juga melihat bahwa pemekaran wilayah ini memiliki motif politik. Dia mencatat pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang pernah mengatakan bahwa pemekaran dilakukan berdasarkan data intelijen. Ketika aksi terkait rasisme marak di Papua, dan ada pertemuan 61 tokoh Papua di istana, agenda pemekaran kemudian muncul dan menguat.

Selain itu, Menkopolhukam Mahfud MD juga pernah menyatakan bahwa pembentukan daerah otonomi baru Papua turut mempertimbangkan kepentingan strategis nasional. Hal itu dilakukan dalam rangka mengukuhkan NKRI dan mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat, serta memelihara citra positif Indonesia di mata internasional.

https://www.voaindonesia.com/

Categories
FOKUS MITRA

Strategi Advokasi dalam Proses Litigasi & Non Litigasi Bagi Pendampingan Hukum

Jayapura – Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) Latifa Anum Siregar menegaskan, pentingnya strategi Advokasi  dalam melakukan Proses Litigasi dan Non Litigasi bagi paragel, Advokad dan Pekerja HAM serta LSM dalam melakukan pendampingan bagi korban-korban kekerasan dan korban ketidak adilan.

Hal it di sampaikan Anum Siregar dalam lokakarya Strategi Advokasi Litigasi bagi Masyarakat Sipil yang di gelar selama 2 hari  Senin, 29 dan Selasa  30 November 2021  di jayapura  di ikuti oleh sejumlah Paralegal , Advokad /Pengacara  serta Aktifis HAM dan LSM .Menrut Anum, dari sekian banyak kasus pendampingan terlihat bahwa ada strategi yang perlu di ubah dalam melakukan pendampingan-pendampingan hukum khusunya masyarakat sipil yang notabene menjadi objek dari korban pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri “ ini langkah yang tepat , penting untuk di lakukan , karena Kita berpikir kita yang ikut sidang-sidang  ada kasus selesai sidang apakah kita akan menangani kasus seperti ini dengan cara begini terus, sama juga dengan teman2 LSM yang tidak mendampingi secara langsung tapi mempunyai kontribusi yang besar “ungkapnya saat lokarkarya selasa, 30 November 2021 .

Anum siregar menambahkan, kegiatan ini mempu membuka cara berpikir atau wawasan Paralegal yang ada di kampung-kampung ,serta Advokad  yang selalu melakukan pemdampingan hukum menambah ilmu baru dalam melakukan trategi-strategi Advokasi Litigasi bagi proses dan kerja-kerja mereka kedepan “ada ilmu-ilmu baru dan saya merasa sesuatu yang luar biasa bagi peserta sehingga menambah kasanah mereka untuk melakukan Advokasi-advokasi nantinya “tutur Anum Siregar .




Direktur LBH Papua Emanuel Gobay saat menjadi pemateri  mengungkapkan bahwa kegiatan  Strategi Advokasi Litigasi bagi masyarakat sipil penting di lakukan untuk membangun kesadaran atau semangat dalam diri orang papua untuk melakukan sesuatu bagi kaumnya “ Kondisi sosial yang kemdian membentuk itu dan tidak di dukung dengan Fasilitas  untuk membangun pemahaman akan mempengaruhi kader-kader yang berprinsip dalam mebela hak-hak masyarakat sipil “jarnya.

Lanjut Edo Gobay sehingga hal ini mendorong dirinya di LBH Papua untuk melakukan agenda non Litigasi dalam menjakau sumber daya –sumberdaya manusia untuk mamp melakukan pendampingan-pemdampingan hukum bagi masyarakat sipil. (nesta )

Categories
FOKUS LAPORAN

Pemerintah Tawari Banyak Hak ke Eks Tapol Papua

Makassar, – Penasihat hukum atau PH tujuh tahanan politik Papua yang diadili dan menjalani hukuman di Balikpapan, Kalimantan Timur menyatakan, pascamenjalani proses hukum, kliennya mendapat berbagai tawaran dari pemerintah. Pernyataan itu dikatakan koordinator tim PH tujuh Tapol Papua, Latifah Anum Siregar dalam diskusi daring “Makar, Pemenjaraan, Aktor Anti-Rasisme Papua, dan Kebebasan Berpendapat”. Diskusi ini digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (BEM STH) Indonesia Jentera, Jakarta pada Senin sore (27/7/2020).

 

“Setelah mereka ke luar [penjara], mereka ditawari pemerintah. Mau usaha apa? bagaimana kuliah mereka [dan lainnya],” kata Anum. Menurutnya, tuduhan makar kepada aktivis atau warag Papua selalu berkaitan dengan hal, yakni politik dan hukum. Bahkan setiap aktivitas masyarakat cenderung dikaitkan dengan makar. Katanya, tujuh orang kliennya yang diadili dan menjalani hukuman di Balikpapan merupakan tumbal dari stigma makar. Kliennya disebut penegak hukum sebagai dalang kerusuhan semua peristiwa di Papua periode Agustus 2019 hingga September 2019.

“Padahal saat peristiwa 23 September 2019 di Wamena, mereka sudah ditangkap,” ujarnya. Pengajar hukum pidana STH Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari mengatakan ada saat Belanda menyusun KUHP yang digunakan Indonesia hingga kini, tidak ditemukan ada redaksional kata makar. Yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai kata makar adalah bahasa Belanda ‘aanslag’ yang berarti serangan.

“Saya menduga saat [KUHP yang dibuat Belanda] diterjemahkan [ke dalam bahasa Indonesia] saat itu, [kata] aanslag disandingkan dengan makar karena belum ada padanannya dalam kosa kata kita,” kata Anugerah.

Menurutnya, kini makar disalah tafsirkan. Penegak hukum sering keliru tentang makna dan pengertiannya, yang kini berkembang luas. Misalnya pengibaran bendera separatis dianggap makar, ibadah di lingkungan kelompok yang dianggap seperatis hingga menjadi anggota kelompok itu dianggap makar. “Bagaimana bisa menghubungkan konteks ibadah dengan membubarkan atau memisahkan diri dari NKRI. Kita berdoa saja pada Tuhan, NKRI tidak akan hilang. Butuh lebih dari itu,” ujarnya. (*) Editor: Edho Sinaga

Artikel ini telah tayang di Jubi.CO.ID

Categories
FOKUS LAPORAN

Ada 86 Tahanan Papua Dikenakan Pasal 106 KUHP Tentang Makar, Tahun 2019

Data Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) menyebutkan bahwa sejak tahun 2019, tercatat 86 orang tahanan asal Papua, di Papua. Mereka dikenakan pasal politik yakni, Pasal 106 KUHP tentang “Makar”.

“Salah satu pasal dalam delik terhadap keamanan negara yang paling sering digunakan oleh negara adalah Pasal 106 KUHP tentang “Makar” dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam, dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun,” kata Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar, Jumat (28/02/2020), saat mengelar jumpa pers, di Kantor ALDP, Padang Bulan, Jayapura, Papua.

Anum menyebutkan, Di Papua, Pasal 106 KUHP tentang “Makar” cenderung digunakan terkait dengan peristiwa kebebasan berekspresi, berkumpul dan menyampaikan pendapat ataupun peristiwa lain (seperti menjual atau menggunakan tas, gelang, kalung, membuat kue, mengecat bangunan, mencoret tubuh dan lain sebagainya), yang didalamnya menampilkan benda, simbol, semboyan Papua Merdeka seperti bendera Bintang Kejora ataupun ekspresi lainnya.

“Di Papua segala ekspresi yang berkaitan dengan bintang kejora sudah pasti para pelakunya dikarenakan Pasal 106 KUHP. Dan jika para pelakunya sudah dikenakan Pasal 106 KUHP, maka status yang disandang oleh pelakunya adalah sebagai tahanan politik (Tapol). Terlepas dari hasil persidangannya di Pengadilan, entah apakah terbukti atau tidak terbukti delik yang dituduhkan itu,” sebut Direktur ALDP itu.

Berikut tabel tersangka/terdakwa makar, sejak tahun 2019, dikenakan Pasal 106 KUHP : Delik Kejahatan terhadap Keamanan Negara :

  • 8 Januari 2019, Timika 3 orang
  • 28 – 29 Agustus 2019, Jakarta 6 orang
  • 2 September 2019, Manokwari 1 orang
  • 5 – 24 September 2019, Jayapura 8 orang
  • 18 September 2019, Sorong 4 orang
  • 19 September 2019, Manokwari 3 orang
  • 30 November 2019, Jayapura 20 orang
  • 1 Desember 2019, Fak – Fak 23 orang , Manokwari 7 orang, dan Sorong 11 orang

Total semua tersangka pasal makar sepanjang tahun 2019 : 86 orang

Sebagian ditangguhkan, sedangkan yang lainnya sedang menjalani proses persidangan.

(Richard Mayor)