Kategori
DOWNLOAD MITRA

SIARAN PERS ” Segera Bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua”

“Presiden Republik Indonesia segera Bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah Sesuai UU No 26 Tahun 2000”

JAYAPURA, – Siaran pers yang di keluarkan Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Untuk Papua dengan Nomor : 001/SP-SOS-Papua/IV/2021 mengakui, Pada prinsipnya Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagaimana diatur pada pasal 28i ayat (4) UUD 1945 junto Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus dalam rangka penegakan hukum bagi Kasus Pelanggaran HAM telah diberlakukan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian secara hukum sudah tidak ada lagi dalil yang dapat digunakan bagi Negara melalui pemerintah untuk mengabaikan pemenuhan hak atas keadilan bagi warga Negara yang menjadi korban pelanggaran HAM Berat.

Dalam rangka menjalankan komitmen diatas, secara khusus telah diatur dalam ketentuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk melaksanakannya, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada BAB XII, Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua. Berkaitan dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia telah ada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dapat dijadikan rujukan untuk pembentukan pengadilan HAM di Papua namun sampai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua akan berakhir ini Negara melalui pemerintah belum mampu membentuk pengadilan HAM di Papua.

Diatas ketidakmampuan Negara melalui pemerintah membentuk pengadilan HAM di Papua kasus wasior berdarah yang terjadi pada tanggal 13 Juni 2001 menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM Berat yang menjadi korban terabaikannya pemenuhan hak atas keadilan oleh Negara melalui pemerintah mengunakan mekanisme pengadilan ham sebagaimana diatur UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia akibat Negara melalui pemerintah tidak mampu mengimplementasikan pada pasal Pasal 45 ayat (2), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua.

Melalui kondisi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah yang telah menunggu pemenuhan hak atas keadilan dari Negara melalui pemerintah mengunakan mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia selama 20 tahun tanpa kejelasan apapun secara langsung menunjukan bahwa Negara melalui pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menjadikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai alat legal untuk memberikan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah.

Pada prinsipnya sikap Negara melalui pemerintah yang tidak memiliki komitmen untuk menjadikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai alat legal untuk memberikan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah diatas secara hukum telah melahirkan fakta hukum pelanggaran HAM baru sebab fakta “tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” merupakan bagian dari Pelanggaran HAM sebagaimana ditegaskan dalam pengertian Pelanggaran HAM yaitu “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” sebagaimana diatur pada pasal 1 anggka 6, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kasus Wasior Berdarah terdapat 2 (dua) kasus pelanggaran HAM yaitu :

  1. Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah yang terjadi pada tanggal 13 Juni 2001 dan
  2. Kasus Pelanggaran HAM selama 20 Tahun Negara melalui Pemerintah tidak mempu memberikan hak atas keadilan kepada korban pelanggaran HAM Berat Wasior berdarah mengunakan mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000.

Berdasarkan kesimpulan adanya 2 (dua) kasus pelanggaran HAM diatas pertanyaannya adalah ditengah tarik ulur pembahasan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua yang selama 20 tahun tidak mempu memberikan pemenuhan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah itu, apakah Negara melalui pemerintah dapat memberikan jaminan akan dipenuhinya hak atas keadilan bagi pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah ?.

Diatas ketidakpastian dan kekosongan jaminan Negara melalui pemerintah dalam memberikan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah kami Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua menegaskan kepada :

  1. Presiden Republik Indonesia segera membentuk Pengadilan HAM untuk Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  2. Mahkama Agung Republik Indonesia segera membentuk Pengadilan HAM untuk Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  3. Jaksa Agung Republik Indonesia segara mengambil berkas Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah dari Komnas HAM RI dan menindaklanjutinya sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  4. Ketua DPR Papua dan Ketua DPR Papua Barat serta DPR RI Darah Pilihan Papua segera mendesak Presiden Republik Inonesia, Mahkama Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Berikut nama-nama organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Untuk Papua yang menyatakan sikap dalam Siaran Pers :

  1. Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua)
  2. Perkumpulan Advokat HAM Untuk Papua (PAHAM Papua)
  3. LP3BH Manokwari
  4. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  5. KPKC Sinode GKI di Tanah Papua
  6. Perkumpulan Belantara Papua
  7. Papuan Voices
  8. ELSHAM Papua
  9. JERAT Papua
  10. AMAN Sorong Raya
  11. Perkumpulan Panah Papua
  12. KIPRa Papua
  13. AMAN Malamoi
  14. Teraju Indonesia
  15. AlDP
  16. WALHI Papua
  17. Kontras Papua
  18. Solidarity For Indigenous Papuans (SIP)
Kategori
DOWNLOAD

Siaran Pers ; Menyikapi persidangan terhadap tujuh tahanan politik (tapol) Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan

Menyikapi persidangan terhadap tujuh tahanan politik (tapol) Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan dan saat ini dalam proses menunggu sidang pembacaan putusan, ALDP (Aliansi Demokrasi untuk Papua) mengeluarkan siaran pers.

Putusan majelis hakim terhadap tujuh Tapol asal Papua akan dibacakan di PN Balikpapan Rabu 17 Juni 2020.

Berikut 6 point sikap ALDP:

1.Bahwa kami menjunjung tinggi penegakan hukum tanpa diskriminasi untuk memberikan keadilan bagi setiap korban yang ditimbulkan atas berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang Agustus sampai dengan September 2019 lalu.

2.Bahwa terkait Putusan terhadap Ferry Kombo, Alexander Gobay, Hengky Hilapok, Irwanus Uropmabin, Buktar Tabuni, Agus Kosay dan Steven Itlay atau tuduhan melakukan makar, kami memohon agar majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta persidangan untuk dan atas nama hukum, bebas dari stigma, atau tekanan dari pihak kekuasaan sehingga dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya;

3.Bahwa masih ada sejumlah tindakan hukum yang menjadi tanggungjawab pemerintah karena masih ada sejumlah peristiwa yang diabaikan atau ditutup-tutupi. Pemerintah tidak boleh berdalil. Bahwa dengan persidangan terhadap ke 7 orang tersebut berarti telah menegakan hukum terhadap semua peristiwa yang terjadi karena pada fakta persidangan tidak juga mengungkapkan hal tersebut. Dimana pada tempat dan waktu yang berbeda ada peristiwa dengan berbagai kerugian jiwa dan materi yang telah dialami oleh segenap lapisan masyarakat sipil (Papua dan non-Papua).

4.Kita semua sepakat bahwa proses hukum bukan hanya untuk menyenangkan para korban bahwa pemerintah sudah mengambil tindakan hukum meskipun faktanya bukanlah pelaku atau peristiwa yang sebenarnya sebab proses hukum haruslah menghukum orang yang sebenar-benarnya telah melakukan kejahatan sesuai dengan fakta peristiwa. Pada akhirnya, siapapun itu, akan kecewa dengan tindakan pemerintah.  Gagalnya pengungkapan kebenaran akan menimbulkan ketidakpercayaan, kecurigaan dan kemarahan yang dapat memicu konflik dimasa yang akan datang.

5.Bahwa kami menolak semua bentuk aksi kekerasan dengan alasan apapun termasuk pernyataan atau provokasi yang dapat memicu konflik horizontal khususnya diantara orang Papua dan non-Papua olehnya itu kami menyerukan agar dibangun komunikasi yang konstruktif pada komunitas masing-masing, melakukan klarifikasi atas semua informasi yang didapat dan memutuskan mata rantai dari berita-berita menyesatkan guna menghindari berulangnya peristiwa kekerasan yang lebih besar dan meluas;

6.Kami berharap aparat keamanan bertindak profesional dan terukur serta mengedepankan langkah-langkah persuasive dalam melakukan pengamanan khusus terkait kebebasan berekspresi para mahasiswa dalam merespon putusan terhadap 7 Tapol Papua di Balikpapan. Sejalan dengan itu kami berharap pemerintah segera mengambil langkah konkrit untuk memberikan perlindungan dan keadilan serta membangun perdamaian di tanah Papua.**