Kategori
FOKUS MITRA

Strategi Advokasi dalam Proses Litigasi & Non Litigasi Bagi Pendampingan Hukum

Jayapura – Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) Latifa Anum Siregar menegaskan, pentingnya strategi Advokasi  dalam melakukan Proses Litigasi dan Non Litigasi bagi paragel, Advokad dan Pekerja HAM serta LSM dalam melakukan pendampingan bagi korban-korban kekerasan dan korban ketidak adilan.

Hal it di sampaikan Anum Siregar dalam lokakarya Strategi Advokasi Litigasi bagi Masyarakat Sipil yang di gelar selama 2 hari  Senin, 29 dan Selasa  30 November 2021  di jayapura  di ikuti oleh sejumlah Paralegal , Advokad /Pengacara  serta Aktifis HAM dan LSM .Menrut Anum, dari sekian banyak kasus pendampingan terlihat bahwa ada strategi yang perlu di ubah dalam melakukan pendampingan-pendampingan hukum khusunya masyarakat sipil yang notabene menjadi objek dari korban pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri “ ini langkah yang tepat , penting untuk di lakukan , karena Kita berpikir kita yang ikut sidang-sidang  ada kasus selesai sidang apakah kita akan menangani kasus seperti ini dengan cara begini terus, sama juga dengan teman2 LSM yang tidak mendampingi secara langsung tapi mempunyai kontribusi yang besar “ungkapnya saat lokarkarya selasa, 30 November 2021 .

Anum siregar menambahkan, kegiatan ini mempu membuka cara berpikir atau wawasan Paralegal yang ada di kampung-kampung ,serta Advokad  yang selalu melakukan pemdampingan hukum menambah ilmu baru dalam melakukan trategi-strategi Advokasi Litigasi bagi proses dan kerja-kerja mereka kedepan “ada ilmu-ilmu baru dan saya merasa sesuatu yang luar biasa bagi peserta sehingga menambah kasanah mereka untuk melakukan Advokasi-advokasi nantinya “tutur Anum Siregar .




Direktur LBH Papua Emanuel Gobay saat menjadi pemateri  mengungkapkan bahwa kegiatan  Strategi Advokasi Litigasi bagi masyarakat sipil penting di lakukan untuk membangun kesadaran atau semangat dalam diri orang papua untuk melakukan sesuatu bagi kaumnya “ Kondisi sosial yang kemdian membentuk itu dan tidak di dukung dengan Fasilitas  untuk membangun pemahaman akan mempengaruhi kader-kader yang berprinsip dalam mebela hak-hak masyarakat sipil “jarnya.

Lanjut Edo Gobay sehingga hal ini mendorong dirinya di LBH Papua untuk melakukan agenda non Litigasi dalam menjakau sumber daya –sumberdaya manusia untuk mamp melakukan pendampingan-pemdampingan hukum bagi masyarakat sipil. (nesta )

Kategori
DOWNLOAD MITRA

SIARAN PERS ” Segera Bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua”

“Presiden Republik Indonesia segera Bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah Sesuai UU No 26 Tahun 2000”

JAYAPURA, – Siaran pers yang di keluarkan Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Untuk Papua dengan Nomor : 001/SP-SOS-Papua/IV/2021 mengakui, Pada prinsipnya Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagaimana diatur pada pasal 28i ayat (4) UUD 1945 junto Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus dalam rangka penegakan hukum bagi Kasus Pelanggaran HAM telah diberlakukan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian secara hukum sudah tidak ada lagi dalil yang dapat digunakan bagi Negara melalui pemerintah untuk mengabaikan pemenuhan hak atas keadilan bagi warga Negara yang menjadi korban pelanggaran HAM Berat.

Dalam rangka menjalankan komitmen diatas, secara khusus telah diatur dalam ketentuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk melaksanakannya, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada BAB XII, Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua. Berkaitan dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia telah ada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dapat dijadikan rujukan untuk pembentukan pengadilan HAM di Papua namun sampai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua akan berakhir ini Negara melalui pemerintah belum mampu membentuk pengadilan HAM di Papua.

Diatas ketidakmampuan Negara melalui pemerintah membentuk pengadilan HAM di Papua kasus wasior berdarah yang terjadi pada tanggal 13 Juni 2001 menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM Berat yang menjadi korban terabaikannya pemenuhan hak atas keadilan oleh Negara melalui pemerintah mengunakan mekanisme pengadilan ham sebagaimana diatur UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia akibat Negara melalui pemerintah tidak mampu mengimplementasikan pada pasal Pasal 45 ayat (2), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua.

Melalui kondisi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah yang telah menunggu pemenuhan hak atas keadilan dari Negara melalui pemerintah mengunakan mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia selama 20 tahun tanpa kejelasan apapun secara langsung menunjukan bahwa Negara melalui pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menjadikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai alat legal untuk memberikan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah.

Pada prinsipnya sikap Negara melalui pemerintah yang tidak memiliki komitmen untuk menjadikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai alat legal untuk memberikan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah diatas secara hukum telah melahirkan fakta hukum pelanggaran HAM baru sebab fakta “tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” merupakan bagian dari Pelanggaran HAM sebagaimana ditegaskan dalam pengertian Pelanggaran HAM yaitu “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” sebagaimana diatur pada pasal 1 anggka 6, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kasus Wasior Berdarah terdapat 2 (dua) kasus pelanggaran HAM yaitu :

  1. Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah yang terjadi pada tanggal 13 Juni 2001 dan
  2. Kasus Pelanggaran HAM selama 20 Tahun Negara melalui Pemerintah tidak mempu memberikan hak atas keadilan kepada korban pelanggaran HAM Berat Wasior berdarah mengunakan mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000.

Berdasarkan kesimpulan adanya 2 (dua) kasus pelanggaran HAM diatas pertanyaannya adalah ditengah tarik ulur pembahasan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua yang selama 20 tahun tidak mempu memberikan pemenuhan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah itu, apakah Negara melalui pemerintah dapat memberikan jaminan akan dipenuhinya hak atas keadilan bagi pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah ?.

Diatas ketidakpastian dan kekosongan jaminan Negara melalui pemerintah dalam memberikan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah kami Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua menegaskan kepada :

  1. Presiden Republik Indonesia segera membentuk Pengadilan HAM untuk Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  2. Mahkama Agung Republik Indonesia segera membentuk Pengadilan HAM untuk Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  3. Jaksa Agung Republik Indonesia segara mengambil berkas Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah dari Komnas HAM RI dan menindaklanjutinya sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  4. Ketua DPR Papua dan Ketua DPR Papua Barat serta DPR RI Darah Pilihan Papua segera mendesak Presiden Republik Inonesia, Mahkama Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Berikut nama-nama organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Untuk Papua yang menyatakan sikap dalam Siaran Pers :

  1. Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua)
  2. Perkumpulan Advokat HAM Untuk Papua (PAHAM Papua)
  3. LP3BH Manokwari
  4. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  5. KPKC Sinode GKI di Tanah Papua
  6. Perkumpulan Belantara Papua
  7. Papuan Voices
  8. ELSHAM Papua
  9. JERAT Papua
  10. AMAN Sorong Raya
  11. Perkumpulan Panah Papua
  12. KIPRa Papua
  13. AMAN Malamoi
  14. Teraju Indonesia
  15. AlDP
  16. WALHI Papua
  17. Kontras Papua
  18. Solidarity For Indigenous Papuans (SIP)
Kategori
SOSOK

Mama ‘Yosepha Alomang’ Perempuan Pejuang Dari Papua

Tubuh Yosepha Alomang tidak terlalu besar. Rambutnya ikal, khas Suku Amungme, Papua. Suaranya selalu lantang saat mengisahkan perjuangannya menyuarakan hak-hak masyarakat Papua khususnya perempuan Papua. Ia hadir dalam Kongres Perempuan Papua di awal tahun 2000 silam.

Devi Anggraini, aktivis Perempuan Aman melukiskan, Yosepha Alomang juga selalu mampu menggemuruhkan semangat perempuan adat yang hadir dalam “Sarasehan Perempuan Adat: Menggugat Posisi Perempuan Adat atas Masyarakat Adat dan Negara” dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) di Jakarta, pada 1999 silam.

Kesaksian perempuan kecil bersuara lantang dengan kepalan tangan yang kuat itu menggugah semangat di hati puluhan perempuan adat lainnya yang hadir dari berbagai wilayah dan kampung-kampung di Indonesia.

Semangat perempuan itu mampu menyalakan bara di hati para perempuan adat untuk bangkit melakukan perlawanan atas penindasan dan kekerasan yang mereka alami. Teriakan “perempuan adat bersatu tak bisa dikalahkan” menggemuruh memenuhi ruangan sarasehan dan membakar semangat solidaritas para perempuan adat yang berkumpul di Jakarta, tak lama setelah tumbangnya Orde Baru.

Perempuan itu adalah Yosepha Alomang, atau yang yang biasa dipanggil dengan Mama Yosepha. Perempuan adat pejuang yang berdiri tegak membela hak asasi manusia dan kedaulatan atas wilayah hidup Suku Agimuga di Amungme yang dirampas oleh PT. Freeport, perusahaan tambang emas dan biji tembaga terbesar di dunia.

Memotong pipa Freeport, aksi pendudukan bandara Timika selama 3 hari merupakan tindakan terorganisir yang dilakukan oleh Mama Yosepha dan masyarakatnya. Aksi ini dilakukan setelah serangkaian perjuangan mereka dianggap angin lalu oleh pemerintah dan PT Freeport.

Perjuangan panjang lagi tak mudah dilalui oleh perempuan adat Amungme ini.

Kekerasan dan tindak represif dari aparat harus dihadapi perempuan kelahiran Tsinga, Papua, pada tahun 1940an.

Yosepha yang sejak kecil sudah yatim-piatu lantas hidup bersama ayah tirinya. Mereka hidup berpindah-pindah, baik di masa penjajahan Belanda ataupun setelah Papua kembali ke tangan Indonesia.

Yosepha muda menikah pada tahun 1970an. Saat itu, ia telah bekerja sebagai bidan dan banyak membantu orang-orang lain. Sejak muda Yosepha telah memperlihatkan tanda-tanda tentang tekad yang besar untuk mandiri.

Ketika suaminya mulai banyak minum minuman keras. Yosepha, yang menganggap bahwa alkohol dapat merusak warga Papua lantas mengampanyekan menolak peredaran minuman keras di Timika. Ketika anak bungsunya berusia 8 bulan, Yosepha akhirnya meninggalkan sang suami yang tak bisa meninggalkan kebiasaannya minum-minum.

Perjuangan untuk melawan ketidak-adilan di Papua mendominasi jalan hidup Yosepha Alomang atau Mama Yosepha. Peraih Yap Thiam Hien dan Goldman Award ini mau, semua pihak memperlakukan secara adil masyarakat dan para perempuan di Papua

 

Melawan ketidak-adilan

Perjuangan melawan ketidak-adilan di Papua mendominasi jalan hidup Mama Yosepha. Johanna, anak sulungnya meninggal karena kelaparan ketika bersembunyi di hutan menghindari operasi militer yang dilakukan setelah warga memotong pipa milik Freeport yang dinilai telah merampas tanah milik warga Amungme di Agimuga.

Sekembalinya dari persembunyian, dengan dibantu gereja ia dan para perempuan Papua lainnya membangun koperasi untuk memasarkan buah-buahan dan sayuran hasil kebun mereka.

Freeport diminta mendukung rakyat setempat dengan membeli hasil kebun mereka. Namun, perusahaan itu mengimpornya dari luar Papua. Para perempuan itu melakukan protes dengan menghancurkan buah-buah dan sayuran impor.

Pada 1991, Yosepha menduduki bandar udara Timika, dengan memasang api di landasan udara, sebagai tanda protes atas penolakan Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mendengarkan suara rakyat setempat terkait perlakuan buruk terhadap rakyat Papua. Berbagai aksi ini membuat Mama Yosepha dituduh memihak OPM, hingga pada Pada 1994, ia ditangkap dengan tuduhan menolong Kelly Kwalik (tokoh OPM). Bersama Mama Yuliana, tokoh perempuan Papua lainnya, ia diperam selama seminggu di tempat pembuangan kotoran manusia.

Pada 1995, Yosepha mengajukan gugatan perdata terhadap PT Freeport di Amerika Serikat, dan menuntut ganti rugi bagi dirinya dan untuk kerusakan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan ini selama bertahun-tahun beroperasi di Amungme. Kegigihan Mama Yosepha akhirnya membuahkan hasil.

Gugatannya dikabulkan dan perusahaan yang bermarkas di AS ini diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 248.000 dolar AS. Tapi Mama Yosepha tak menggunakan uang itu untuk kepentingannya pribadinya. Uang itu digunakannya untuk membangun Kompleks Yosepha Alomang berupa monumen pelanggaran HAM, klinik, panti asuhan dan gedung pertemuan.

Pada 1999, Mama Yosepha diganjar penghargaan Yap Thiam Hien sebagai apresiasi atas perjuangannya dalam menegakkan hak asasi bagi warga Papua. Yap Thiam Hien adalah tokoh pembela hak asasi manusia yang juga pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum. Sedangkan penghargaan Yap Thiam Hien diberikan kepada para tokoh yang dinilai memiliki sumbangan besra dalam memperjuangkan HAM di Tanah Air.

Beberapa tokoh yang juga pernah menerima penghargaan ini adalah Munir dan Baharuddin Lopa. Kali ini, Mama Yosepha menggunakan uang yang diterimanya untuk mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan). Pada tahun 2001, Mama Yosepha dianugerahi Anugerah Lingkungan Goldman atas perjuangannya untuk kelestarian lingkungan di Papua.

Semua ini menjadikan Mama Yosepha yang kini tinggal di Timika, Papua sebagai tokoh penting bukan hanya dalam gerakan perempuan, tetapi juga pejuang HAM dan lingkungan di Papua. Dan, ia tetap

Pada akhir 2003, saat sebuah lubang penambangan milik Freeport di Grasberg runtuh dan menewaskan 9 orang buruh tambang, ia kembali menyerukan agar Freeport menghentikan operasinya di Indonesia, karena dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup besar-besaran di Papua.

Terus berjuang

Semangat juang Mama Yosepha berlanjut hingga sekarang. Di usianya yang mulai senja, ia terus menyuarakan dukungannya untuk terwujudnya keadilan di Papua. Saat terjadi aksi rasialis di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur yang memicu kerusuhan di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 lalu, Mama Yosepha lantang memberikan pembelaan.

Ia meminta aparat berlaku jujur dan mengungkap semua sesuai apa adanya. Yang salah katakan salah, lanjutnya, dan semua harus diadili secara hukum. Lugas Mama Yosepha menyatakan tidak terima orang Papua dihina dan disamakan seperti binatang.

“Jadi kami tra terima kemarin dibilang kera berjalan. Itu dong pu bahasa yang kasar,” ujarnya sebagaimana dikutip Tirto.

Mama Yosepha meminta segala bentuk kekerasan terhadap orang Papua segera dihentikan dan hak-hak orang Papua diperhatikan dan diperlakukan secara manusiawi. Ia meminta pemerintah dan seluruh elemen masyarakat menjaga orang Papua yang tinggal di Pulau Jawa serta daerah-daerah lainnya. Sebaliknya warga Papua pun menjaga orang dari luar daerah yang tinggal di Papua.

Mama Yosepha juga menjadi orang yang berdiri paling depan saat Veronica Koman, pengacara HAM dijadikan tersangka penyebaran hoaks dan masuk daftar buronan Polri. Koman dijadikan tersangka pada 4 September 2019, atau beberapa hari setelah Surya (FRI WP) dan beberapa aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) ditahan atas dugaan makar.

Veronica Koman menjadi orang non-Papua kedua setelah Surya Anta yang dijadikan tersangka makar terkait masalah Papua. Mama Yosepha menyebut Veronica Koman adalah sosok yang dikirimkan Tuhan untuk Papua.

Amole Vero, di manakah?  Vero, kamu seorang pejuang keadilan dan pembebasan Papua. Vero jangan takut. Tuhan utus Vero untuk jadi mama Papua. Engkau membantu untuk keadilan, perdamaian dan pembebasan Papua. Kami tetap dukung,” ujarnya video yang diterima Jubi.co.id, Kamis (19/9/2019).

Mama Yosepha menegaskan, kehadiran Veronica Koman memberi kekuatan kepada mama-mama Papua untuk terus berjuang. Koman juga yang selama ini membela anak-anak Papua yang dijadikan tersangka dan ditangkap dengan tuduhan makar.

Perlakuan yang adil dan saling menghormati menjadi hal yang selalu diperjuangkan oleh Mama Yosepha yang kini usianya sekitar 80 tahun. Mungkin mimpinya belum sepenuhnya terwujud, tapi setidaknya dia telah berjuang dan telah menularkan semangat juangnya kepada para perempuan lain di Indonesia.

(Disarikan dari berbagai sumber)

ESTI UTAMI

Kategori
FOKUS LAPORAN

Pemerintah Tawari Banyak Hak ke Eks Tapol Papua

Makassar, – Penasihat hukum atau PH tujuh tahanan politik Papua yang diadili dan menjalani hukuman di Balikpapan, Kalimantan Timur menyatakan, pascamenjalani proses hukum, kliennya mendapat berbagai tawaran dari pemerintah. Pernyataan itu dikatakan koordinator tim PH tujuh Tapol Papua, Latifah Anum Siregar dalam diskusi daring “Makar, Pemenjaraan, Aktor Anti-Rasisme Papua, dan Kebebasan Berpendapat”. Diskusi ini digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (BEM STH) Indonesia Jentera, Jakarta pada Senin sore (27/7/2020).

 

“Setelah mereka ke luar [penjara], mereka ditawari pemerintah. Mau usaha apa? bagaimana kuliah mereka [dan lainnya],” kata Anum. Menurutnya, tuduhan makar kepada aktivis atau warag Papua selalu berkaitan dengan hal, yakni politik dan hukum. Bahkan setiap aktivitas masyarakat cenderung dikaitkan dengan makar. Katanya, tujuh orang kliennya yang diadili dan menjalani hukuman di Balikpapan merupakan tumbal dari stigma makar. Kliennya disebut penegak hukum sebagai dalang kerusuhan semua peristiwa di Papua periode Agustus 2019 hingga September 2019.

“Padahal saat peristiwa 23 September 2019 di Wamena, mereka sudah ditangkap,” ujarnya. Pengajar hukum pidana STH Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari mengatakan ada saat Belanda menyusun KUHP yang digunakan Indonesia hingga kini, tidak ditemukan ada redaksional kata makar. Yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai kata makar adalah bahasa Belanda ‘aanslag’ yang berarti serangan.

“Saya menduga saat [KUHP yang dibuat Belanda] diterjemahkan [ke dalam bahasa Indonesia] saat itu, [kata] aanslag disandingkan dengan makar karena belum ada padanannya dalam kosa kata kita,” kata Anugerah.

Menurutnya, kini makar disalah tafsirkan. Penegak hukum sering keliru tentang makna dan pengertiannya, yang kini berkembang luas. Misalnya pengibaran bendera separatis dianggap makar, ibadah di lingkungan kelompok yang dianggap seperatis hingga menjadi anggota kelompok itu dianggap makar. “Bagaimana bisa menghubungkan konteks ibadah dengan membubarkan atau memisahkan diri dari NKRI. Kita berdoa saja pada Tuhan, NKRI tidak akan hilang. Butuh lebih dari itu,” ujarnya. (*) Editor: Edho Sinaga

Artikel ini telah tayang di Jubi.CO.ID