Kategori
Web

Para Terdakwa Pengibar Bendera 1 Desember 2021 di GOR Jayapura, Bebas

ALDP Papua – Jayapura.Salah satu kasus makar di tahun 2021 yang disidangkan oleh PN Jayapura adalah  7 aktifis mahasiswa yakni  Terdakwa I Melvin Yobe Alias Malvin, terdakwa II Maksimus Simon Petrus You alias Maksi, terdakwa III Luis Kitok Uropmabin alias Bukal Amate, terdakwa IV Devio Tekege alias Delvi alias Marten Pakage, terdakwa V Yosep Ernesto Matuan alias Neko, terdakwa VI Ambros Fransiskus Elopere alias Frans, dan terdakwa VII Melvin Fernando Waine alias Nando. Adapun Zode Hilapok salah satu dari mereka masih dalam status dibantar karena sakit sehingga tidak dimasukan dalam persidangan yang sedang berjalan. Mereka dituduh makar pada peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 2021 di depan GOR Jayapura tepat bersebelahan dengan markas Polda Papua.

Persidangan dengan nomor perkara: 132/PID.B/2022/PN-JAP mulai dilakukan pada 4 Maret 2022 dengan pembacaan Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) mereka didakwa dalam Kesatu : Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 110 Ayat (1) KUHP. Awalnya  sidang dilakukan secara online di PN Jayapura namun pada saat pemeriksaan saksi sidang dilakukan di Lapas Abepura.  Mereka didampingi oleh Tim Penasehat Hukum yang tergabung dalam Koalisi Penegakan Hukum dan HAM di tanah Papua.

Adapun saksi-saksi berasal dari JPU yakni Didik Hermawan, Endriko Ary Setiawan, Barnabas Ferdinand Simbiak, Muhammad Jusni Alfian dan  Julian Prasetya Rachman kesemuanya merupakan anggota POLRI. Inti keterangannya adalah saat para terdakwa melakukan long march membawa bendera dan spanduk sambil berteriak Papua Merdeka, teriak seperti ini sering terdengar di saat aksi-aksi massa. Bahwa para saksi mengatakan melihat bendera dalam bentuk di gambar. Bahwa dengan adanya pengibaran bendera tersebut tidak serta merta membuat Papua merdeka. Bahwa para terdakwa ditangkap di depan Polda, salah satu diantara mereka menggunakan kostum adat.

Pada pemeriksaan para terdakwa, terdapat keterangan sebagai berikut yakni Bahwa Para Terdakwa melakukan aksi pada tanggal 01 Desember 2021 di GOR Jayapura dengan membawa bendera bintang kejora dan spanduk aksi kemudian melakukan long march dari GOR Jayapura menuju Gedung DPRP namun di depan Markas Polda Papua mereka ditangkap.  Para terdakwa menerangkan bahwa long march dilakukan di pinggir tanpa mengganggu aktifitas umum. Aksi itu bagian dari ekspresi politik sesuai UU Otsus dan sebagai protes akibat tidak dilakukan klarifikasi sejarah integrasi Papua di NKRI yang terus menuai polemik. Para Terdakwa tidak melakukan perlawanan pada saat diamankan oleh aparat kepolisian di Polda Papua.

Pada 29 Juli 2022 seorang petugas diduga dalam keadaan pengaruh minuman beralkohol masuk ke sel yang ditempati Maksimus You dan Devion Tekege dan memukul Maksmus You atas tuduhan mengisap ganja, sehingga mengakibatkan bagian pelipis mata kanan Maksimus You bengkak dan bibir luka. Tuduhan itu dibantah oleh Maksimus You. Atas kejadian tersebut, kalapas Abepura Sulistyo Wibowo mengatakan akan menindak tegas aparatnya jika terbukti melakukan kesalahan.

Pada Jumat tanggal 11 Agustus 2022 JPU telah membaca Tuntutan Pidana yakni dalam dakwaan subsidair yakni melanggar  Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 1 (Satu) Tahun dengan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan. Adapun barang bukti yang diajukan oleh JPU yakni 2 buah bendera bintang kejora dalam bentuk gambar dan 1 buah spanduk dalam bentuk gambar.

Pada Nota pembelaan para terdakwa yang disusun oleh Tim pengacara, menerangkan  bahwa pelurusan sejarah Papua telah menjadi perdebatan tiada berujung hingga saat ini dan menjadi salah satu alasan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di GOR Cederawasih Jayapura Pada Tanggal 1 Desember 2021. Salah satu tuntutan agar pemerintah menyelesaikan persoalan mengenai sejarah Papua saat berintegrasi ke dalam NKRI. Selain mengibarkan bendera, mereka membawa spanduk yang isinya agar menghentikan militerisme di tanah Papua dan mendesak agar Dewan HAM PBB diijinkan ke tanah Papua.

Selanjutnya disebutkan bahwa salah satu bagian penting di dalam UU Otsus adalah pasal 2 mengenai Lambang-Lambang, dimana rakyat Papua diperbolehkan untuk memiliki bendera daerah dan lagu daerah. Ketakutan pemerintah atas apa yang telah dijanjikan dan diperintahkan oleh UU menyebabkan pemerintah kehilangan akal sehat, tidak peduli terdapat kekeliruan asas dan hirarki dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam implementasinya, seperti ketika Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 77 tahun 2009 tentang Lambang Daerah untuk menghalau simbol atau bendera Bintang Kejora berkibar.

Pemerintah juga mengeluarkan UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu kebangsaan yang memuat sanksi terhadap berbagai tindakan pelanggaran terhadap bendera merah putih. Ironisnya, dalam prakteknya dugaan pelanggaran terhadap simbol dan ikon-ikon negara Indonesia malah menggunakan pasal makar. Padahal di Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara tidak ada satu pasal pun memuat pelanggaran atau tindak pidana terkait simbol atau bendera. Kondisi ini menunjukkan stigma terhadap orang Papua mendahului kebijakan atau hukum apapun yang hendak dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat Papua.

Tim Penasehat Hukum dengan tegas menyatakan para terdakwa  tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana makar sebagaimana dalam Kesatu : Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 110 Ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Pada tanggal 29 Agustus 2022 Majelis kemudian memutus 7 Tapol dihukum 10 bulan penjara atau lebih rendah 2 bulan dari Tuntutan JPU. Ke tujuhnya menjalani pembebasan pada 27 September 2022. Mereka dijemput oleh Tim PH, salah satu diantara mereka kembali menggunakan kostum adat,  kemudian melakukan long march dari Lapas Abepura ke asrama Taboria Padang Bulan, tempat dimana mereka melakukan syukuran atas pembebasan tersebut.(Tim/ALDP).

Kategori
Web

Peradilan Koneksitas Untuk Kasus Mutilasi Disertai Penembakan di Timika

ALDP Papua – Jayapura. Peristiwa tanggal 22 Agustus 2022 di Timika telah menyebabkan hilangnya 4 manusia karena dimutilasi, bahkan 2 diantaranya juga ditembak. Peristiwa ini melibatkan para pelaku yang terdiri dari setidaknya 6 orang anggota TNI dan 4 warga sipil, seharusnya diselesaikan melalui peradilan koneksitas.

Peradilan koneksitas diterapkan apabila pada tindak pidana yang terjadi terdapat penyertaan dalam kualifikasi turut serta (deelneming) atau secara bersama-sama (made dader) yang melibatkan pelaku berasal dari warga sipil dan berstatus sebagai anggota TNI/militer.  Penanganan perkara tindak pidana koneksitas dapat dilihat dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan KUHAP.

Sangat jelas dan tegas, pasal-pasal dalam kedua aturan tersebut memiliki perintah yang sama, seperti : Pasal 89 Ayat(1) KUHAP  dan Pasal 198 Ayat(1) UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan : Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Artinya, sepanjang tidak ada Keputusan bersama maka sudah seharusnya disidang di Peradilan umum, tidak ada kompromi atau negosiasi soal ini.  Demikian yang seharusnya dilakukan terhadap para pelaku kasus mutilasi dan penembakan terhadap 4 warga sipil pada peristiwa 22 Agustus 2022 di Timika.

Setelah dilakukan penyidikan maka dilakukan penelitan bersama terhadap hasil penyidikan tersebut.  Penelitian bersama ini dilakukan oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur untuk menentukan peradilannya(Pasal 199 UU Nomor 31 Tahun 1997). Lebih lanjut Pasal 200 UU Nomor 31 tahun 1997 menyebutkan, apabila hasil penelitian menunjukan titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka Perwira Penyerah Perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui Oditur kepada Penuntut Umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada Pengandilan Negeri yang berwenang.

Mengingat bahwa peristiwa 22 Agustus 2022 kerugian yang dialami terletak pada kepentingan umum. Pertama, keluarga korban merupakan masyarakat sipil yang mengalami kerugiaan dan penderitaan karena para korban merupakan kepala keluarga dan pencari nafkah utama keluarga serta tokoh di masyarakat. Korban dan komunitasnya bahkan distigma dan dikriminalisasi, sehingga sumber mata pencarian dan kehidupan mereka dirusak secara permanen.

Faktor lainnya yang mendesak dilakukannya sidang koneksitas di PN Kota Timika karena sudah sejak lama masyarakat tidak percaya terhadap proses hukum yang dilakukan, secara khusus terhadap pelaku yang berasal dari jajaran militer apalagi dilakukan diluar Papua. Persidangan yang dilakukan cenderung menjadi mekanisme formal(upaya penyelematan) untuk melindungi pelaku dari kejahatan yang sesungguhnya, bukan untuk menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan. Padahal melindungi aparat yang bersalah sama dengan merusak citra institusi dan memperburuk relasi dengan masyarakat. Relasi masih ada tapi sifatnya semu dan lemah.

Maka untuk membangun kepercayaan kepada institusi militer secara khusus dan untuk membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, terhadap para pelaku seharusnya disidangkan melalui peradilan koneksitas di kota kejadian yakni di PN Kota Timika.

Kategori
Web

Frans Wasini Terdakwa Makar, Diputus Bebas oleh Pengadilan Tinggi Papua

ALDP Papua – Jayapura. Franis Wasini alias Frans tercatat dalam Daftar Pencarian Orang(DPO) Polda Papua Nomor: DPO/30/IX/RES/1.24/2019 DIRESKRIMUN tanggal 13 september 2019 terkait peristiwa demo anti rasisme tahun 2019. Franis  ditangkap atas tuduhan makar dan melakukan penghasutan untuk melakukan suatu kejahatan yang dimaksud dalam rumusan pasal 106 KUHP Jo Pasal 87 KUHP Jo Pasal 55 ayat(1) KUHP  (Dakwaan Kesatu)  atau pasal 160 KUHP (Dakwaa Kedua).

Penangkapan Franis Wasini  tanggal 21 Mei 2021 berdasarkan LP Nomor LP/177/IX/Res.1.24/2019/SPKT Polda Papua tanggal 02 september 2019 dan langsung ditahan di rutan Brimob Polda Papua di Kotaraja. Menjelang sidang, Frans dipindahkan ke rutan Polda Papua.

Sidang Frans terbilang unik karena berlangsung sangat lama akibat penundaan sidang yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum(JPU). Misalnya, untuk pembacaan Surat dakwaan tertunda berkali-kali. Penundaan ini berimplikasi pada Frans bebas demi hukum(BDH), yakni keluar dari rutan Polda Papua sambil tetap menjalani persidangan.

Sidang Frans wasini dimulai tanggal 30 september 2021. Setelah sidang sempat tertunda beberapa kali, JPU membacakan Surat Dakwaan. Kemudian Tim PH mengajukan eksepsi. Tanggal 7 desember 2021, majelis Hakim menolak eksepsi dari Tim PH Franis Wasini. Sidang dilanjutkan dengan pokok perkara yakni pemeriksaan saksi yang akan dilakukan pada tanggal 21 desember  2021.

Frans Wasini yang lahir di Aplumding tanggal 17 Juni 1997 agama katholik beralamat di BTN hadir saat aksi sebagai perugas keamanan yang mengamankan massa aksi agar tidak bertindak anarkis.

Saat pemeriksaan di PN Jayapura, JPU hanya mampu menghadirkan 2 orang saksi yakni anggota Brimob(Zaenal Mustafa dan Bintang E Siagian) yang melakukan penangkapan terhadap Franis. Keduanya tidak berada di Jayapura saat aksi berlangsung karenanya kesaksiaannya patut ditolak. Tim PH Frans menghadirkan 2 orang saksi meringankan(Sony Kobak dan Maikel Zon Kasipka) yang pada keterangannya menjelaskan bahwa pada aksi menolak rasisme yang berujung anarkis Franis tidak melakukan orasi dan bertindak sebagai petugas keamanan yang justru mengamankan massa aksi agar tidak terjadi anarkis.

Franis dituntut 10 tahun penjara oleh JPU adapun PH Franis yakni Tim Penasehat Hukum yang berasal dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua yang terdiri dari gabungan pengacara dari LSM HAM di tanah Papua dalam Nota pembelaannya bersikeras bahwa Franis tidak bersalah dan meminta Franis dibebaskan.

Pada putusan yang dibacakan tanggal 15 Maret 2022, setelah ditunda seminggu dari jadwal awal 8 Maret 2022. Majelis hakim langsung membuktikan dakwaan kedua yakni Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan.  Ketua majelis mengatakan pada hasil musyawarah majelis hakim tidak mendapatkan kata sepakat karena ada dissenting opinion dari hakim anggota II yakni Corneles Wairoy, SH.

Di dalam dissenting opinion dari hakim anggota II sependapat dengan sejumlah pokok-pokok pembelaan Tim PH terutama terkait keterangan saksi yang dihadirkan oleh JPU yang tidak berada pada saat kejadian. Corneles Wairoy SH juga menerangkan bahwa esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut. Dengan demikian dalam delik penghasutan ada 2 subyek yakni orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi(MK) melalui putusan  Nomor: 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi deik materil. Dengan demikian bahwa jelas perbuatan penghasutan tidak bisa dipidana jika orang yang dihasut tidak melakukan perbuatan dan ada hubungan antara hasutan tersebut dengan timbullnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang terhasut. Hal mana hubungan sebab akibat tersebut harus dibuktikan di pengadilan sehingga orang yang dihasut dapat dipidana. Hakim anggota II berpendapat bahwa sepatutnya dalam perkara ini Franis Wasini tidak terbukti secara sah dan menyakinkan  bersalah sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.

Majelis kemudian memutus Franis Wasini 10 bulan penjara.

Dikarenakan proses hukum Franis Wasini dikaitkan dengan peristiwa menolak rasisme yang berujung anarkis maka mulai dari uraian di dalam surat dakwaan yakni terkait peristiwa rasisme tahun 2019 hingga tuntutan JPU tuntutan yakni 10 tahun dan 15 tahun penjara yakni terhadap 7 terdakwa sebelumnya yakni Alex Gobay dkk yang disidang di PN Balikpapan pada tahun 2020. Putusan majelis hakim pun pada prinsipnya sama yakni 10 dan 11 bulan penjara. Bedanya pada putusan Alex Gobay dkk, JPU tidak menyatakan banding, namun untuk perkara Franis Wasini, JPU ajukan banding.

Pada putusan Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor : 27/PID/2022/PT Jap, tertanggal 28 Juli 2022, majelis hakim tinggi yakni Supomo SH,MH; Anthonius SImbolon SH,MH dan Yohanes Hero Sujaya SH,MH justru membatalkan putusan PN Jayapura Nomor: 441/Pid.B/2021/PN Jap tanggal 15 Maret 2022. Majelis hakim tinggi membebaskan terdakwa Franis Wasini dari dakwaan JPU dan memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan harkat dan martabatnya.

Dari dua peristiwa hukum yakni persidangan Franis Wasini dan Alex Gobay dkk terkait aksi menolak rasisme tahun 2019 ada perbedaan dalam hal pertimbangan Majelis hakim dan JPU dalam hal menerima atau menolak putusan dari Majelis, tergantung pada dimana sidang dilakukan, siapa majelis hakimnya dan sejauhmana perspektif diluar hukum (politik)mempengaruhi persidangan tersebut.(Tim/AlDP).

Kategori
BERITA FOKUS

Pemekaran Papua “Untuk Siapa ?”

Pemekaran wilayah di Papua tak terhindarkan. Melalui UU Otonomi Khusus Papua 2021, skenario menyederhakan upaya ini telah dirancang. DPR memandang pemekaran penting untuk mempercepat pembangunan kawasan.

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung meyakini bahwa Papua adalah wilayah dan isu yang strategis, tidak hanya secara nasional, tetapi juga internasional. Karena itu, katanya, harus ada upaya lebih untuk mempercepat pertumbuhan wilayah dan meratakan hasil pembangunan.

DPR berkeyakinan memekarkan wilayah Papua adalah jalan keluar untuk persoalan ini.

“Ketika kita menyimpulkan bahwa pemekaran daerah itu bagian dari proses percepatan pembangunan di Papua, dan pemerataan di seluruh Indonesia, maka lebih cepat lebih bagus,” kata Ahmad Doli.

Ketua Komisi II DPR itu berbicara dalam diskusi Pemekaran Papua untuk Siapa, yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (24/2).

Ahmad Doli menambahkkan upaya mempermudah rentang kendali proses pembangunan di daerah dilakukan dengan menciptakan pemerintahan-pemerintahan baru. Karena itulah, sejak awal proses penyederhanaan pemekaran daerah di Papua sudah dimasukkan dalam UU Otsus 2021.

“Kalau kita ingin mempercepat pembangunan di tanah Papua itu dari segala aspek, baik dari aspek ekonomi, infrastruktur, sosial budaya, termasuk politik, kita harus makin memperpendek rentang kendali implementasi dari kebijakan yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun di daerah,” kata Ahmad Doli.

Komisi II DPR, lanjut dia, telah melakukan akselerasi untuk menangani isu ini. Setelah UU Otsus 2021 disahkan, kata Ahmad Doli, maka proses pemekarannya juga harus segera dimulai.

Komisi II DPR telah mengambil inisiatif dengan menyusun draft naskah akademik dan draft rancangan undang undang pemekaran itu. Mereka juga berkomunikasi dengan pemerintah tentang persiapan-persiapan yang dibutuhkan.

“Dan sampai sejauh ini, kami melihat ada komitmen yang tinggi dari Pak Presiden Jokowi secara khusus atau pemerintah pemerintah pusat, untuk segera melakukan proses pemekaran itu,” tambahnya.

Pemekaran Dinilai Berhasil

Wali Kota Sorong Lamberthus Jitmau dalam diskusi ini meminta seluruh pihak melihat isu pemekaran dari sisi positif.

“Pemekaran ini jangan kita melihat dari negatifnya, tapi kita melihat dari sisi positifnya. Pemekaran hadir untuk memberikan jawaban, atau solusi yang terbaik untuk masyarakat yang ada di setiap daerah yang mau dimekarkan,” kata Lamberthus, yang juga Ketua Tim Percepatan Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya.

Lamberthus mengingatkan ketika bergabung dengan Indonesia pada tahun 60-an, Papua hanya terdiri dari satu provinsi. Wilayahnya sangat luas, tiga setengah kali luas pulau Jawa. Sementara di sisi lain, kondisi geografisnya tidak mudah ditaklukkan.

“Dengan medan yang sangat sulit, dengan satu provinsi kita tidak mampu untuk melakukan terobosan-terobosan, membangun infrastruktur, apapun namanya, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bangsa yang ada di tanah Papua,” ujarnya.

Kondisi menjadi sedikit lebih baik, ketika Papua kemudian dimekarkan menjadi dua provinsi, sekitar 19 tahun yang lalu. Kendali pemerintahan, kata Lamberthus, lebih terjangkau dan masyarakat Papua di pegunungan, pesisir dan pulau-pulau bisa merasakan manfaatnya.

Kini ada dua provinsi di sana, yaitu Papua dan Papua Barat. Provinsi Papua memiliki 29 daerah tingkat dua, dan Papua Barat memiliki 13. Seluruh daerah ini, kata Lamberthus, menerima dana pembangunan dari APBN, dan karena itu menjadi lebih mudah memberikan pelayanan kepada masyarakat.

“Kami sangat siap, segala galanya. SDA kami siap, SDM kami siap, PAD dan lain lain kami siap. Jangan ada alasan bahwa anggaran ini dan itu,” tegas Lamberthus.

Rencana Pemekaran Dipertanyakan

Suara berbeda disampaikan Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua.

“Apakah itu pemekaran menjadi penting? Kalau kita anggap pemekaran sarana, bukan tujuan, bisa banyak cara untuk mensejahterakan rakyat Papua tanpa melalui pemekaran. Kalau itu memang komitmen pemerintah,” kata Latifah.

Salah satu strategi mencipatakan kesejahteraan, lanjutnya, adalah melalui pusat kegiatan ekonomi. Pemerintah tidak cukup membuka jalan di wilayah Papua, tetapi juga harus menyiapkan pusat-pusat ekonomi yang fokus di loasi terdekat. Pusat ekonomi ini, lanjut Latifah, biasa di di setiap distrik, tidak harus berada di tingkat kabupaten.

“Dan itu tidak perlu harus dengan pemekaran,” lanjutnya.

Latifah menegaskan bahwa pemerintah juga bisa menciptakan kesejahteran di Papua dengan mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan sipil dan pelayanan publik. Pelayan publik harus ada di tempat.

Upaya penegakan hukum juga penting dilakukan, baik kasus-kasus Hak Asasi Manusia, maupun pelanggaran hukum yang dilakuan pejabat publik atau penyelenggara pemerintahan. Ada persepsi, selama ini penegakan hukum terhadap pejabat pemerintah lokal tidak berjalan karena pemerintah pusat takut upaya itu akan melahirkan tuntutan Papua merdeka.

“Jadi lucu, menganggap enggak apa-apa terjadi kekacauan penyelenggaraan pemerintahan, yang penting orang tidak minta merdeka. Itu juga salah,” tambahnya.

Latifah juga berharap ada diskusi lebih dalam terkait rencana pemekaran ini. Institusi pemerintahan di daerah, seperti DPRP, MRP serta masyarakat sipil, terutama orang asli Papua, harus dilibatkan secara bermartabat untuk mendiskusikan permasalahan dan solusi, termasuk mengenai pemekaran.

“Jadi mau pemekaran ataupun tidak, ajak orang Papua bicara. Bukan seperti sekarang, bungkusnya UU Otsus, chasing-nya Papua, tetapi isinya politik Jakarta hari ini. Orang Papua dikasih apa saja tanpa diajak bicara. Yang setuju seperti apa, tidak setuju karena apa. Terus cari solusi bersama,” kata Latifah.

Pemerintah sendiri meyakini bahwa masalah di Papua adalah kesejahteraan. Namun, sejauh ini yang diambil adalah pendekatan keamanan. Menurut Latifah, ini adalah sebuah paradoks.

Latifah juga melihat bahwa pemekaran wilayah ini memiliki motif politik. Dia mencatat pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang pernah mengatakan bahwa pemekaran dilakukan berdasarkan data intelijen. Ketika aksi terkait rasisme marak di Papua, dan ada pertemuan 61 tokoh Papua di istana, agenda pemekaran kemudian muncul dan menguat.

Selain itu, Menkopolhukam Mahfud MD juga pernah menyatakan bahwa pembentukan daerah otonomi baru Papua turut mempertimbangkan kepentingan strategis nasional. Hal itu dilakukan dalam rangka mengukuhkan NKRI dan mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat, serta memelihara citra positif Indonesia di mata internasional.

https://www.voaindonesia.com/