Penyiksaan : Dimulai dari Penyangkalan Diakhiri dengan Impunitas

181

Siaran Pers

Penyiksaan:  Dimulai dari Penyangkalan Diakhiri dengan Impunitas

 

Video aksi penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI anggota Yonif Raider 300/Brawijaya  di Pos Gome Kabupaten Puncak tanggal 3 Pebruari 2024 menjadi perhatian dan keprihatinan kita bersama. Korbannya adalah Definus Kogoya, oleh anggota TNI dirinya diduga sebagai anggota TPNPB. Pada awal video diketahui oleh publik, terjadi penyangkalan yang dilakukan oleh pihak TNI yakni Pangdam XVII Cenderawasih.

Penyangkalan ini mengingatkan kita peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay tanggal 10 November 2001, bahkan Komandan Kopasus Tribuana di Hamadi, menyelenggarakan Konferensi Pers di markasnya sehari setelah peristiwa dan menyatakan bahwa diri dan institusinya tidak terlibat. Namun penyelidikan yang dilakukan oleh pihak Polda Papua, membuktikan bahwa penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay adalah hasil permufakatan jahat dari anggota Kopasus Tribuana.

Para pelaku pembunuhan Theys Hiyo Eluay diadili di peradilan militer, setelahnya karier mereka malah melejit, bahkan Komandannya mendapatkan pangkat Jenderal dan mendapatkan jabatan strategis di institusi militer. Sebagaimana pernyataan Jenderal TNI Raymizard Raycudu kala itu sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, katanya anggota Kopassus yang dihukum karena melakukan pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay adalah pahlawan.[1]

Pada tahun 2020 di Intan Jaya ada kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremias Zanambani. Awalnya anggota TNI menyangkal keterlibatan mereka atas peristiwa tersebut. Kapen Kogabwilhan III Kol Czi IGN Suriastawa berkata pendeta Yeremia ditembak ‘KKB’. Ia menuding penembakan terhadap pendeta sebagai setting-an menjelang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[2] Setelah desakan berbagai pihak dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah melakukan investigasi terungkap bahwa adanya dugaan keterlibatan anggota dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani. Rangkaian peristiwa lainnya adalah kasus hilangnya Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang ditahan di Koramil Sugapa pada 21 April 2020, keduanya dibunuh dan mayatnya dibakar. Kuat dugaan ada keterlibatan Kotis Yonif PR 433 JS Kostrad demikian juga kasus penembakan terhadap Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa pada 7 Oktober 2020.

Pada dokumen putusan di Mahmil-19 Jayapura para pelaku yang diduga terlibat pada rangkaian peristiwa di Intan Jaya, mangkir. Misalnya persidangan terhadap 3 prajurit dari Kodim 1418/Mamuju,Topdam IX/Udayana dan KIKAV 6/RBT yang ditempatkan pada Kodim Persiapan Paniai[3] dan 4 prajurit dari Yonif Raider 400/BR.[4] Juga 4 anggota TNI  Yonif Pararider 433 JS Kostrad yang diduga terlibat pada pembunuhan dan pembakaran jenazah Luther Zanambani dan Apinus Zanambani.[5] Komandan dari kesatuan masing-masing mengirim surat ke Mahmil-19 Jayapura, meminta persidangan dipindahkan ke tempat asal Kesatuan(di luar Papua).

Kita juga mencatat kasus Eden Babari dan Ronny Wandik ditembak oleh anggota TNI Yonif 712/900 dari Satuan Tugas Pinang Siri di Mile 34, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah pada 13 April 2020, hingga meninggal dunia. Pengadilan Militer III-14 Denpasar menyidangkan 2 Terdakwa yakni sersan Satu Vicente De Oliviera, dan Prajurit Kepala Bahari. Namun diputus bebas dari tuntutan hukum. Awalnya  oditur(Jaksa militer) mengajukan kasasi agar hukumannya sesuai tuntutan, namun oditur mencabut permohonan kasasinya yang menyebabkan kedua terdakwa bebas. Adapun 2 terdakwa lainnya disidangkan di peradilan militer Menado, diputus 7 tahun dan 6 tahun penjara dan hukuman tambahan dipecat dari kesatuannya. Ditingkat kasasi vonisnya ringan menjadi 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan, hukuman tambahan di pecat dari kesatuan, namun hukuman itu ditiadakan.[6]

Maka meskipun hasil investigasi menemukan ada keterlibatan anggota TNI, namun proses hukum terhadap mereka diduga kuat tidak dilakukan. Ataupun ketika proses hukum dilakukan, Mahkamah militer hanya menjadi ancaman semu, pada awalnya namun pada tahapan berikutnya cenderung menjadi tempat untuk melindungi dan menyelematkan prajurit dari pertangungjawaban pidana yang dilakukan terhadap warga sipil.

Strategi yang selalu digunakan oleh para petinggi TNI, berupa respon awal yang resisten tanpa mencari tahu terlebih dahulu, penyangkalan itu tadi, kemudian akan dilanjutkan dengan permintaan maaf ketika fakta yang ada terlanjur meluas dan menjadi konsumsi publik. Apapun argumentasi untuk membenarkan tindakan tersebut tentu tidak dapat diterima secara hukum karena tindakan penyiksaan tidak  dibenarkan  secara hukum baik yang dilakukan terhadap pihak yang diduga sebagai anggota kelompok bersenjata atau simpatisan atau informan apalagi terhadap masyarakat sipil. Berlanjutnya aksi penyiksaan seperti ini menunjukkan kelemahan dari sistem pendidikan militer. Apalagi tindakan main hakim sendiri disertai penyiksaan adalah pola berulang yang dipakai untuk mendapatkan pengakuan, membalas dendam dan merendahkan harkat dan martabat seseorang. Sebagai anggota TNI, seharusnya mengetahui tugas dan tanggungjawabnya. Anggota TNI tidak memiliki kewenangan untuk menahan atau melakukan interogasi terhadap warga sipil termasuk terhadap TPNPB karena ini merupakan ranahnya aparat kepolisian. Terhadap kejadian berulang seperti ini menunjukkan tidak ada langkah serius untuk mencegah atau menghukum pelakunya.

Maka kami mendesak :

  1. Segera dilakukan investigasi independen untuk memperoleh kebenaran dari peristiwa tanggal 3 Pebruari 2024 di Gome Kabupaten Puncak dan rangkaian peristiwanya secara utuh dan terang benderang terutama kronologi peristiwa, identitas dan latar belakang Definus Kogoya dan dua rekan lainnya;
  2. Pengadilan terhadap para pelaku dilakukan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura agar publik dapat mengakses informasi terkait proses hukum secara lebih mudah dan terbuka;
  3. Komandan kesatuan dari Yonif Raider 300/Brawijaya yang anggotanya diduga melakukan aksi penyiksaan agar tidak menggunakan alasan tertentu untuk memindahkan persidangannya ke pengadilan militer pada Kesatuan asal;
  4. Pemerintah segera merevisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997 agar anggota militer diadili di Pengadilan Umum sepanjang tidak terkait pelanggaran disersi dan administrasi;
  5. Revisi kebijakan keamanan di Papua terkait penempatan pasukan non organik dan profesionalisme aparat keamanan dalam menjalankan tugas dan tangungjawabnya untuk meminimalisasi tindakan diluar hukum/kewenangan institusi;
  6. Para pelaku konflik bersenjata yakni TNI/POLRI dan juga TPNPB agar menghormati dan melindungi warga sipil. Tidak dibenarkan melakukan penyiksaan dalam bentuk dan alasan apapun terhadap warga sipil apapun latar belakang tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Agar tidak memberi stigma dan saling tuduh yang berakibat pada jatuhnya korban dari warga sipil dan agar mencegah kejadian berulang terhadap warga sipil.

Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP)

Jayapura  27 Maret  2024

[1] https://suarapapua.com/2024/03/09/empat-terdakwa-pembunuhan-bebari-dan-wandik-dibebaskan-wujud-impunitas/

[2] https://hot.grid.id/read/182345496/tembaki-pendeta-di-intan-jaya-kkb-papua-putar-balikkan-fakta-sebut-tni-jadi-dalang-kematian-yeremia-kapen-kogabwilhan-iii-singgung-opm-caper-jelang-sidang-umum-pbb?page=all

[3] Lihat putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor:226-K/PM.III-19/AD/I/2021

[4] Lihat putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor:12-K/PM.III-19/AD/I/2022

[5] Lihat Putusan Pengadilan Militer III-9 Jayapura Nomor : 165-K/PM.III-19/AD/VIII/2021

[6] https://suarapapua.com/2024/03/09/empat-terdakwa-pembunuhan-bebari-dan-wandik-dibebaskan-wujud-impunitas/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here