ALDP Papua – Jayapura.Salah satu kasus makar di tahun 2021 yang disidangkan oleh PN Jayapura adalah 7 aktifis mahasiswa yakni Terdakwa I Melvin Yobe Alias Malvin, terdakwa II Maksimus Simon Petrus You alias Maksi, terdakwa III Luis Kitok Uropmabin alias Bukal Amate, terdakwa IV Devio Tekege alias Delvi alias Marten Pakage, terdakwa V Yosep Ernesto Matuan alias Neko, terdakwa VI Ambros Fransiskus Elopere alias Frans, dan terdakwa VII Melvin Fernando Waine alias Nando. Adapun Zode Hilapok salah satu dari mereka masih dalam status dibantar karena sakit sehingga tidak dimasukan dalam persidangan yang sedang berjalan. Mereka dituduh makar pada peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 2021 di depan GOR Jayapura tepat bersebelahan dengan markas Polda Papua.
Persidangan dengan nomor perkara: 132/PID.B/2022/PN-JAP mulai dilakukan pada 4 Maret 2022 dengan pembacaan Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) mereka didakwa dalam Kesatu : Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 110 Ayat (1) KUHP. Awalnya sidang dilakukan secara online di PN Jayapura namun pada saat pemeriksaan saksi sidang dilakukan di Lapas Abepura. Mereka didampingi oleh Tim Penasehat Hukum yang tergabung dalam Koalisi Penegakan Hukum dan HAM di tanah Papua.
Adapun saksi-saksi berasal dari JPU yakni Didik Hermawan, Endriko Ary Setiawan, Barnabas Ferdinand Simbiak, Muhammad Jusni Alfian dan Julian Prasetya Rachman kesemuanya merupakan anggota POLRI. Inti keterangannya adalah saat para terdakwa melakukan long march membawa bendera dan spanduk sambil berteriak Papua Merdeka, teriak seperti ini sering terdengar di saat aksi-aksi massa. Bahwa para saksi mengatakan melihat bendera dalam bentuk di gambar. Bahwa dengan adanya pengibaran bendera tersebut tidak serta merta membuat Papua merdeka. Bahwa para terdakwa ditangkap di depan Polda, salah satu diantara mereka menggunakan kostum adat.
Pada pemeriksaan para terdakwa, terdapat keterangan sebagai berikut yakni Bahwa Para Terdakwa melakukan aksi pada tanggal 01 Desember 2021 di GOR Jayapura dengan membawa bendera bintang kejora dan spanduk aksi kemudian melakukan long march dari GOR Jayapura menuju Gedung DPRP namun di depan Markas Polda Papua mereka ditangkap. Para terdakwa menerangkan bahwa long march dilakukan di pinggir tanpa mengganggu aktifitas umum. Aksi itu bagian dari ekspresi politik sesuai UU Otsus dan sebagai protes akibat tidak dilakukan klarifikasi sejarah integrasi Papua di NKRI yang terus menuai polemik. Para Terdakwa tidak melakukan perlawanan pada saat diamankan oleh aparat kepolisian di Polda Papua.
Pada 29 Juli 2022 seorang petugas diduga dalam keadaan pengaruh minuman beralkohol masuk ke sel yang ditempati Maksimus You dan Devion Tekege dan memukul Maksmus You atas tuduhan mengisap ganja, sehingga mengakibatkan bagian pelipis mata kanan Maksimus You bengkak dan bibir luka. Tuduhan itu dibantah oleh Maksimus You. Atas kejadian tersebut, kalapas Abepura Sulistyo Wibowo mengatakan akan menindak tegas aparatnya jika terbukti melakukan kesalahan.
Pada Jumat tanggal 11 Agustus 2022 JPU telah membaca Tuntutan Pidana yakni dalam dakwaan subsidair yakni melanggar Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 1 (Satu) Tahun dengan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan. Adapun barang bukti yang diajukan oleh JPU yakni 2 buah bendera bintang kejora dalam bentuk gambar dan 1 buah spanduk dalam bentuk gambar.
Pada Nota pembelaan para terdakwa yang disusun oleh Tim pengacara, menerangkan bahwa pelurusan sejarah Papua telah menjadi perdebatan tiada berujung hingga saat ini dan menjadi salah satu alasan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di GOR Cederawasih Jayapura Pada Tanggal 1 Desember 2021. Salah satu tuntutan agar pemerintah menyelesaikan persoalan mengenai sejarah Papua saat berintegrasi ke dalam NKRI. Selain mengibarkan bendera, mereka membawa spanduk yang isinya agar menghentikan militerisme di tanah Papua dan mendesak agar Dewan HAM PBB diijinkan ke tanah Papua.
Selanjutnya disebutkan bahwa salah satu bagian penting di dalam UU Otsus adalah pasal 2 mengenai Lambang-Lambang, dimana rakyat Papua diperbolehkan untuk memiliki bendera daerah dan lagu daerah. Ketakutan pemerintah atas apa yang telah dijanjikan dan diperintahkan oleh UU menyebabkan pemerintah kehilangan akal sehat, tidak peduli terdapat kekeliruan asas dan hirarki dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam implementasinya, seperti ketika Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 77 tahun 2009 tentang Lambang Daerah untuk menghalau simbol atau bendera Bintang Kejora berkibar.
Pemerintah juga mengeluarkan UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu kebangsaan yang memuat sanksi terhadap berbagai tindakan pelanggaran terhadap bendera merah putih. Ironisnya, dalam prakteknya dugaan pelanggaran terhadap simbol dan ikon-ikon negara Indonesia malah menggunakan pasal makar. Padahal di Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara tidak ada satu pasal pun memuat pelanggaran atau tindak pidana terkait simbol atau bendera. Kondisi ini menunjukkan stigma terhadap orang Papua mendahului kebijakan atau hukum apapun yang hendak dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat Papua.
Tim Penasehat Hukum dengan tegas menyatakan para terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana makar sebagaimana dalam Kesatu : Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 110 Ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Pada tanggal 29 Agustus 2022 Majelis kemudian memutus 7 Tapol dihukum 10 bulan penjara atau lebih rendah 2 bulan dari Tuntutan JPU. Ke tujuhnya menjalani pembebasan pada 27 September 2022. Mereka dijemput oleh Tim PH, salah satu diantara mereka kembali menggunakan kostum adat, kemudian melakukan long march dari Lapas Abepura ke asrama Taboria Padang Bulan, tempat dimana mereka melakukan syukuran atas pembebasan tersebut.(Tim/ALDP).