ALDP Papua – Jayapura. Franis Wasini alias Frans tercatat dalam Daftar Pencarian Orang(DPO) Polda Papua Nomor: DPO/30/IX/RES/1.24/2019 DIRESKRIMUN tanggal 13 september 2019 terkait peristiwa demo anti rasisme tahun 2019. Franis ditangkap atas tuduhan makar dan melakukan penghasutan untuk melakukan suatu kejahatan yang dimaksud dalam rumusan pasal 106 KUHP Jo Pasal 87 KUHP Jo Pasal 55 ayat(1) KUHP (Dakwaan Kesatu) atau pasal 160 KUHP (Dakwaa Kedua).
Penangkapan Franis Wasini tanggal 21 Mei 2021 berdasarkan LP Nomor LP/177/IX/Res.1.24/2019/SPKT Polda Papua tanggal 02 september 2019 dan langsung ditahan di rutan Brimob Polda Papua di Kotaraja. Menjelang sidang, Frans dipindahkan ke rutan Polda Papua.
Sidang Frans terbilang unik karena berlangsung sangat lama akibat penundaan sidang yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum(JPU). Misalnya, untuk pembacaan Surat dakwaan tertunda berkali-kali. Penundaan ini berimplikasi pada Frans bebas demi hukum(BDH), yakni keluar dari rutan Polda Papua sambil tetap menjalani persidangan.
Sidang Frans wasini dimulai tanggal 30 september 2021. Setelah sidang sempat tertunda beberapa kali, JPU membacakan Surat Dakwaan. Kemudian Tim PH mengajukan eksepsi. Tanggal 7 desember 2021, majelis Hakim menolak eksepsi dari Tim PH Franis Wasini. Sidang dilanjutkan dengan pokok perkara yakni pemeriksaan saksi yang akan dilakukan pada tanggal 21 desember 2021.
Frans Wasini yang lahir di Aplumding tanggal 17 Juni 1997 agama katholik beralamat di BTN hadir saat aksi sebagai perugas keamanan yang mengamankan massa aksi agar tidak bertindak anarkis.
Saat pemeriksaan di PN Jayapura, JPU hanya mampu menghadirkan 2 orang saksi yakni anggota Brimob(Zaenal Mustafa dan Bintang E Siagian) yang melakukan penangkapan terhadap Franis. Keduanya tidak berada di Jayapura saat aksi berlangsung karenanya kesaksiaannya patut ditolak. Tim PH Frans menghadirkan 2 orang saksi meringankan(Sony Kobak dan Maikel Zon Kasipka) yang pada keterangannya menjelaskan bahwa pada aksi menolak rasisme yang berujung anarkis Franis tidak melakukan orasi dan bertindak sebagai petugas keamanan yang justru mengamankan massa aksi agar tidak terjadi anarkis.
Franis dituntut 10 tahun penjara oleh JPU adapun PH Franis yakni Tim Penasehat Hukum yang berasal dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua yang terdiri dari gabungan pengacara dari LSM HAM di tanah Papua dalam Nota pembelaannya bersikeras bahwa Franis tidak bersalah dan meminta Franis dibebaskan.
Pada putusan yang dibacakan tanggal 15 Maret 2022, setelah ditunda seminggu dari jadwal awal 8 Maret 2022. Majelis hakim langsung membuktikan dakwaan kedua yakni Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. Ketua majelis mengatakan pada hasil musyawarah majelis hakim tidak mendapatkan kata sepakat karena ada dissenting opinion dari hakim anggota II yakni Corneles Wairoy, SH.
Di dalam dissenting opinion dari hakim anggota II sependapat dengan sejumlah pokok-pokok pembelaan Tim PH terutama terkait keterangan saksi yang dihadirkan oleh JPU yang tidak berada pada saat kejadian. Corneles Wairoy SH juga menerangkan bahwa esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut. Dengan demikian dalam delik penghasutan ada 2 subyek yakni orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi(MK) melalui putusan Nomor: 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi deik materil. Dengan demikian bahwa jelas perbuatan penghasutan tidak bisa dipidana jika orang yang dihasut tidak melakukan perbuatan dan ada hubungan antara hasutan tersebut dengan timbullnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang terhasut. Hal mana hubungan sebab akibat tersebut harus dibuktikan di pengadilan sehingga orang yang dihasut dapat dipidana. Hakim anggota II berpendapat bahwa sepatutnya dalam perkara ini Franis Wasini tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.
Majelis kemudian memutus Franis Wasini 10 bulan penjara.
Dikarenakan proses hukum Franis Wasini dikaitkan dengan peristiwa menolak rasisme yang berujung anarkis maka mulai dari uraian di dalam surat dakwaan yakni terkait peristiwa rasisme tahun 2019 hingga tuntutan JPU tuntutan yakni 10 tahun dan 15 tahun penjara yakni terhadap 7 terdakwa sebelumnya yakni Alex Gobay dkk yang disidang di PN Balikpapan pada tahun 2020. Putusan majelis hakim pun pada prinsipnya sama yakni 10 dan 11 bulan penjara. Bedanya pada putusan Alex Gobay dkk, JPU tidak menyatakan banding, namun untuk perkara Franis Wasini, JPU ajukan banding.
Pada putusan Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor : 27/PID/2022/PT Jap, tertanggal 28 Juli 2022, majelis hakim tinggi yakni Supomo SH,MH; Anthonius SImbolon SH,MH dan Yohanes Hero Sujaya SH,MH justru membatalkan putusan PN Jayapura Nomor: 441/Pid.B/2021/PN Jap tanggal 15 Maret 2022. Majelis hakim tinggi membebaskan terdakwa Franis Wasini dari dakwaan JPU dan memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan harkat dan martabatnya.
Dari dua peristiwa hukum yakni persidangan Franis Wasini dan Alex Gobay dkk terkait aksi menolak rasisme tahun 2019 ada perbedaan dalam hal pertimbangan Majelis hakim dan JPU dalam hal menerima atau menolak putusan dari Majelis, tergantung pada dimana sidang dilakukan, siapa majelis hakimnya dan sejauhmana perspektif diluar hukum (politik)mempengaruhi persidangan tersebut.(Tim/AlDP).